CORAK HUKUM ADAT
CORAK HUKUM ADAT
I. PENDAHULUAN
Hukum
adat adalah aturan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia
di turunkan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian
bermasyarakat dan kemudian bernegara. Sejak manusia berkeluarga mereka
telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya. Menurut kebiasaan
mereka, misalnya ayah mencari buruan atau mencari akar-akaran untuk
bahan makanan, sedang ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan
kemudian bersantap bersama. Perilaku kebiasaan tersebut itu berlaku
terus menerus, sehingga menjadi pembagian kerja yang tetap.[1]
Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran yang berbeda dengan dasar pikiran dan kebudayaan
barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus
dapat menyelami dasar alam pikiran pada masyarakat Indonesia. Berbeda
dengan cara hukum barat yang cenderung individualistis dan liberalistis.
Adapun mengenai corak hukum adat yang bersendi pad alam pikiran
Indonesia itu akan dibahas dalam makalah ini.
II. PERMASALAHAN
Dari uraian diatas dapat diungkapkan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1. Corak hukum adat mana yang membedakan antara alam pikiran hukum adat barat dan Indonesia?
2. Bagaimanakah kelaziman corak hukum adat secara normatif di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
A. Corak hukum adat
Barat
yang cenderung individualist dan liberalistis sangat berbeda dengan
hukum adat yang bersendi pada alam pikiran Indonesia karena mempunyai
corak yang khusus yaitu:
v Komunal (communal)
v Religio magis (magisch-religius)
v Konkrit (concreeto)
v Visual
Corak-corak
tersebut di atas nampak dengan jelas implementasinya dalam kehidupan
sehari-hari, yang digambarkan oleh Surojo Wignodipuro S.H. dalam
“pengantar dan asas-asas hukum adat” sebagai berikut:
1) Corak
komunal atau kebersamaan terlihat apabila warga desa melakukan kerja
bakti atau gugur gunung, nampak sekali adanya kebiasaan hidup bergotong
royong, solidaritas yang tinggi atau saling bantu-membantu. Rasa
solidaritas yang tinggi menyebabkan orang selalu lebih mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Bahkan pada suku
bangsa jawa terdapat pepatah adat yang dengan tepat menggambarkan corak
komunal yaitu: dudu sanak dudu kadang, ning yen mati melu kelangan
(bukan anggota keluarga bukan saudara sekandung, tetapi kalau ia
meninggal merasa turut kehilangan)
2) Corak
religio magis terlihat jelas sekali pada upacara-upacara adat dimana
lazimnya diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada roh-roh leluhur
yang ingin diminta restu bantuannya. Juga acara selamatan pada setiap
kali menghadapi peristiwa penting, seperti: kelahiran, khitanan,
perkawinan, mendirikan rumah, pindah rumah sampai kematian.
3) Corak
konkrit, tergambar dalam kehidupan masyarakat bahwa; pikiran penataan
serba konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari menyebabkan satunya
kata dengan perbuatan (perbuatan itu betul-betul merupakan realisasi
dari perkataan nya). Misalnya: hanya memakai “jual” apabila nyata-nyata
terlihat adanya tindakan-tindakan “pembayaran kontan
” dari si pembeli serta “penyerahan barang” dari si penjual.
” dari si pembeli serta “penyerahan barang” dari si penjual.
4) Corak
visual atau kelihatan menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari adanya
pemberian tanda-tanda yang kelihatan sebagai bukti penegasan atau
peneguhan dari apa yang telah dilakukan atau yang dalam waktu dekat akan
dilakukan. Misalnya” pemberian pening set (jawa) atau penyangcang
(Sunda) merupakan penegasan dari telah terjadinya pertunangan, pemberian
panjar pada transaksi jual beli merupakan penegasan adanya kehendak
pemberian yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Disamping coraknya yang
berbeda, hukum adat juga mempunyai sifat-sifat g berbeda pula dengan
hukum barat, karena adanya perbedaan alam pikiran dan cork yang
mendasari hukum tersebut.[2]
B. Hukum adat secara normative
Hukum
adat Indonesia yang normative pada umumnya menunjukkan corak yang
tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkrit dan visual, terbuka, dan
sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak di kodifikasi,
musyawarah dan mufakat[3].
† Tradisional
Hukum
adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannya
masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Misalnya dalam hukum kekerabatan adat orang batak yang
menarik garis keturunan lelaki, sejak dulu sampai sekarang tetap saja
mempertahankan hubungan kekerabatan yang disebut “dalihan na tolu”
(bertungku tiga) yaitu hubungan antara marga hula-hula, dengan tubu
(dongan sebutuha) dan bolu. Sehingga dengan adanya hubungan kekerabatan
tersebut tidak terjadi perkawinan antara pria dan wanita yang satu
keturunan (satu marga)
Contoh
corak tradisional di lampung bahwa dalam hukum kewarisan berlaku sistem
mayorat lelaki, artinya anak tertua lelaki menguasai seluruh harta
peninggalan dengan kewajiban mengurus adik-adik nya sampai dewasa dan
dapat berdiri sendiri. Harta peninggalan itu tetap tidak terbagi-bagi,
merupakan milik keluarga bersama, yang kegunaannya untuk kepentingan
anggota keluarga.
† Keagamaan
Hukum
adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religius) artinya
perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang gaib dan atau berdasarkan pada ajaran ketuhanan yang maha
esa.
Oleh
karena apabila manusia akan memutuskan sesuatu atau mau melakukan
sesuatu biasanya berdoa memohon keridhaan tuhan yang ghaib, dengan
harapan karya itu akan berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, dan
tidak melanggar pantangan (pamali) yang dapat berakibat timbulnya
kutukan dari yang maha kuasa.
Corak
keagamaan dalam hukum adat ini terangkat pula dalam pembukaan UUD 1945
alenia yang ketiga yang berbunyi ”atas berkat rahmat Allah yang maha
kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaan nya”.
† Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal),
artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama. ”satu untuk semua
dan semua untuk satu” hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu
dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, tolong menolong, dan gotong-royong.
Oleh karenanya hingga sekarang kita masih melihat rumah gadang di tanah Minangkabau, ”tanah pusaka”
yang tidak terbagi secara individual melainkan menjadi milk bersama
dan untuk kepentingan bersama .bahkan corak dan sifat kebersamaan ini
terangkat pula dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan””
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas kekeluargaan”. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun atas sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
† Konkrit dan visual
Corak hukum adat adalah konkrit
artinya jelas, nyata, berwujud dan visual artinya dapat terlihat,
tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang
berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak
samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan di dengar orang
lain, dan nampak terjadi “ijab Qobul” (serat terima)nya. Misalnya dalam
jual beli jatuh bersamaan waktunya antara pembayaran harga dan
penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetapi harga belum
dibayar maka itu bukan jual beli melainkan hutang piutang.
† Terbuka dan sederhana
Corak hukum adat itu “terbuka”
artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari luar asal
saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Corak dan
sifatnya yang sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak
administrasi nya bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan
dilaksanakan berdasar saling percaya mempercayai.
Keterbukaan nya misal dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum hindu, dalam hukum perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”. Jika
suami mati maka istri kawin lagi dengan saudara suami. Atau masuknya
pengaruh hukum islam dalam hukum waris adat yang disebut bagian “sepikul segendong”, bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita sebanyak 2:1
Kesederhanaan
misalnya dapat dilihat dari terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku
tanpa surat-menyurat misalnya dalam perjanjian bagi hasil antara
pemilik tanah dan penggarap, cukup adanya kesepakatan dua belah pihak
tanpa adanya suatu surat menyurat dan kesaksian kepada kepala desa.
Begitu pula dalam transaksi yang lain seperti gadai, sewa-menyewa,
hutang piutang, sangat sederhana karena tidak dengan bukti tertulis.
† Dapat berubah dan menyesuaikan
Hukum adat itu dapat berubah, menurut keadaan, waktu dan tempat. Orang Minangkabau berkata “sekali aik gadang sakali tapian beranja, sakali raja baganti, sakali ada berubah”di bawah tangan tidak atau belum dimuka notaris.
(begitu air besar, begitu pula tempat pemandian bergeser, begitu
pemerintah berganti, begitu pula adat lalu berubah). Adat yang nampak
pada kita sekarang sudah jauh berbeda dari adat dimasa Hindia Belanda.
Begitu pula apa yang dikatakan di atas kebanyakan transaksi tidak dibuat
dengan bukti tertulis, namun sekarang dikarenakan kemajuan pendidikan
dan banyaknya penipuan yang terjadi dalam masyarakat, maka sudah banyak
pula setiap transaksi itu dibuat dengan surat menyurat walaupun
† Tidak di kodifikasi
Hukum
adat kebanyakan tidak ditulis, walaupun ada juga yang dicatat dalam
aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak
sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman bukan mutlak yang harus
dilaksanakan, kecuali yang bersifat perintah tuhan. Jadi hukum adat pada
umumnya tidak di kodifikasi seperti hukum adat (Eropa), yang disusun
secara teratur dalam kitab yang disebut kitab perundangan. Oleh
karenanya maka hukum adat itu mudah berubah, dan dapat disesuaikan
dengan perkembangan masyarakat.
† Musyawarah dan mufakat
Hukum
adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, di dalam keluarga, di
dalam hubungan kekerabatan, dan ketetanggaan, baik untuk memulai suatu
pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat
“peradilan”. Dalam menyelesaikan perselisihan antara yang satu dengan
yang lain. Di dalam penyelesaian perselisihan selalu diutamakan jalan
penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat,
dengan saling memaafkan, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja langsung
menyampaikan ke pengadilan negara. Jalan penyelesaian damai itu
membutuhkan adanya I’tikad baik dari para pihak dan adanya semangat yang
adil dan bijaksana dari orang yang dipercayakan sebagai penengah atau semangat dari Majelis Permusyawaratan Adat[4].
IV. KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa corak dan sifat hukum
adat yang ada dalam alam pikiran masyarakat Indonesia sangat berbeda
dengan corak dan sifat hukum adat menurut alam pikiran masyarakat barat.
Yang cenderung individualist dan liberalis. Mengenai hukum Indonesia
yang normatif pada umumnya menunjukkan corak yang tradisional,
kebersamaan, keagamaan, konkrit dan visual, terbuka dan sederhana, dapat
berubah dan menyesuaikan, tidak di kodifikasi, musyawarah dan mufakat.
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami buat. Kami sadar dalam makalah ini pasti banyak sekali
kekurangannya untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan demi sempurnanya makalah ini. Dan mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju, Bandung: 1992
Kusmadi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Aksara Baru, Jakarta: 1976
Prof. H.A.M. Effendy, SH. Pengantar Hukum Adat. Toha Putra, Semarang: 2001.
Terimakasih atas ilmu pengetahuannya. Para pembaca juga dapat membaca tentang corak hukum adat yang sudah kami tulis. Semoga dapat membantu.
BalasHapus