Senin, 30 September 2013

DIREGULASI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP BUMN



A.      PENDAHULUAN
Dalam Negara kesejahteraan (social service state, welfare state, welvaarstaat, besturzorg, verzorgingsstaat),[1] Tugas pemerintah semakin bertambah luas karena pemerintah sebagai penyelenggara tugas servis public harus memasuki beberapa aspek kehidupan masyarakat untuk melayani kepentingan masyarakat yang sangat kompleks, rumit dan luas. Berkaitan dengan itu, menurut B.L.W. Visser yang dikutip oleh Bagir Manan[2] bahwa tugas servis public yang menjadi tanggungjawab Administrasi Negara, merupakan konsekuensi pelaksanaan konsepsi Negara kesejahteraan. Dalam konsep Negara kesejahteraan, tugas dan wewenang serta tanggungjawab administrasi Negara semakin berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lama berkembang.
Dalam melaksanakan tugas servis public tersebut, dibutuhkan lembaga-lembaga atau standar  tertentu untuk menjamin  terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai Negara kesejahteraan, pemerintah memeliki tanggungjawab yang luas dengan ikut campur tangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan tetap berpijak pada peraturan perundang-undangan dan juga memiliki kewqenangan Diskresi/ Freies Ermessen.
Negara republic Indonesia sebagai Negara hokum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hendak mewujudkan tujuannya sebagai termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 , Antara lain memajukan kesejahteraan umum. Tujuan tersebut merupakan cirri Negara kesejahteraan (Welfare State), yang berkarakter spesifik yaitu berusaha mewujudkan kesejahteraan fisik-kebendaan dan mental spiritual secara seimbang.
Salah satu bidang penting yang menjadi lahan garapan dan tanggungjawab  pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah bidang perekonomian rakyat. Hal mana sejalan  dengan pemikiran Didik J. Rachbini[3] bahwa dalam system ekonomi kompleks, para pelaku ekonomi tak terbatas pada swasta, melainkan pemerintah yang berperan dalam mengatur agar system ekonomi berjalan dengan baik. Pemerintah tampil sebagai pengatur yang baik (regulator) , agar system ekonomi berkembang harmonis sesuai dengan realita social.
Selain Sebagai  regulator , Pemerintah juga terlibat secara langsung dalam bidang perekonomian, antara lain dalam menghadirkan Perusahaan Negara atau sering disebut “Badan Usaha Milik Negara” (BUMN). Menurut Robert Fabrikant dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum,[4] BUMN  tidak lain daripada bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam mencoba menciptakan atau mempertahankan keseimbangan kasar antara sector swasta dan sector pemerintah. Dalam hal demikian, BUMN diharapkan berperan sebagai faset perekonomian Negara dan faset aparatur perekonomian Negara.
Dalam statusnya sebagai faset aparatur perekonomian Negara atau juga disebut sebagai organisasi ekonomi Negara,[5] Negara memiliki kekuasaan untuk mencapai  tujuan dari kegiatan yang dilakukannya, melakukan monopoli, dan menentukan bentuk system dan produk apa saja yang hendak dihasilkan tanpa mengindahkan hokum-hukum pasar yang berlaku. Dengan demikian Negara hanya melakukan kegiatan yang seharusnya dilakukan, seperti kegiatan untuk memajaki rakyat (Power of tax) dan tidak melakukan kegiatan bisnis biasa.
Sehubungan dengan status pemerintah sebagai aparatur perekonomian Negara tersebut, dalam pengaturan tentang BUMN di Indonesia (terutama UU No. 19/Prp/1960, UU 9/1969,PP 3/1983 Sebagaimana diubah  dengan PP 28/1983) diberikan wewenang kepada pemerintah untuk membina dan mengawasi BUMN tersebut ternyata mengalami diregulasi seiring dengan arus swastanisasi yang melanda BUMN. dengan kecenderungan swastanisasi BUMN mengurangi intervensi pemerintah terhadap BUMN, maka fenomena diregulasi pengawasan pemerintah tidak terelakkan lagi , antara lain sebagaimana diatur dalam PP.12/1988 tentang Perusahaan Perseroan (Persero), PP.13/ 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum) dan Keputusan  Presiden (Keppres) 64/1998 tentang badan Pengelola BUMN. Oleh karena itu, tulisan ini akan menyoroti fenomena tersebut dengan menggunakan pendekatan hokum administrasi.
B.   PERUSAHAAN NEGARA DAN KONSEP DEREGULASI
1.      Perusahaan Negara : Status, penggolongan dan peranannya
Perusahaan Negara sering dilihat sebagai fenomena yang relative baru. Suatu penelitian sejarah industry menunjukkan bahwa perusahaan Negara itu bukan semata-mata ciptaan Negara saja, melainkan sejak semula bangsa-bangsa barat mendirikan perusahaan Negara sebagai perpanjangan diri mereka sendiri dalam usahanya untuk memungkinkan perluasan ektrateritorial. Misalnya, The East India Company dari inggris (1599-1958) melainkan peranan penting dalam perkembangan inggris sebagai suatu kekuatan colonial . sebenarnya, perusahaan-perusahaan Negara ini merupakan pendahulu perusahaan-perusahaan multinasional masa kini. Perbedaannya terletak hanya pada bagian luarnya saja. perbedaan yang paling penting adalah bahwa perusahaan Negara yang lama dicitakan terutama untuk alas an-alasan ekonomi, dan kebanyakan terlibat dalam mkegiatan perdagangan. Namun untuk memudahkan usaha-usaha komersialnya, perusahaan tersebut sedikit demi sedikitdi beri fungsi pemerintah dan politik.
Perusahaan multinasional modern juga dimaksudkan sebagai alat ekonomis, sekalipun perusahaan multinasional tidak memiliki wewenang pemerintahan dan politik, namun perusahaan tersebut amat otonom dan mempunyai kekuasaan sangat besar yang mirip dengan pemerintah[6]




[1] Negara kesejateraan merupakan konsep Negara modern sebagai akibat dari perkembangan konsep Negara hokum. Welfare State itu sendiri dipahami sebagai integrasi dari fakta-fakta ekonomi dan ide umum tentang keadilan, termasuk juga dalamnya terdapat  rembesan dan berfungsinya hokum dalam berbagai aspek kehidupan social. Dengan demikian, hokum berjalin dengan Negara kesejahteraan. Jalinan tersebut  dipahami sebagai hubungan langsung  dan terbuka antara hokum dan Negara kesejateraan”. Lihat Jan M. Broekman, dalam Gunter Teuber, Dilemmas of law in the Welfare State, Walter de Gruyter, Berlin, New York, 1986, hlm.79.
[2] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hlm. 14.
[3] Didik J. Racbini, Posisi Pasar dan Negara, Majalah Gatra, No. 17 Tahun I, 11 Maret 1995, hlm. V.
[4] T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Penyunting, Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 208.
[5] Didik J. Rachbini, loc. Cit.
[6] Robert Fabrikant, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, op.cit., hlm. 209

0 komentar:

Posting Komentar