ABSTRAK
Filsafat hukum berguna untuk menjawab berbagai macam problematika dan masalah-masalah umum abstrak (hakekat, tujuan, ketaatan hukum), filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum di suatu negara. Filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya. Sebagaimana munculnya aliran-aliran (mazhab) dari para pakar filsafat hukum sehingga terjadi dialektika antara satu sama yang lainnya adalah sebagai berikut; Hukum Alam (Aristoteles, Aguinas Grotius), Formalisme (Austin, Kelsen), Mazhab Kebudayaan dan sejarah (Bentham, Ihering), Social jurisprudence (Ehrlich, Pound), Legal Realism (Holmes, Llewellyn, Frank).[3] Aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut sangat perlu dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya.
Kata kunci: Problematika filsafat hukum, Paradikma dialektik aliran-aliran filsafat hukum.
Kata kunci: Problematika filsafat hukum, Paradikma dialektik aliran-aliran filsafat hukum.
I. PENDAHULUAN
Filsafat hukum adalah merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Filsafat adalah suatu pendasaran diri dan renungan diri secara radikal dan mendalam, ia merefleksikan terutama tentang segala yang ada, yaitu “hal ada” dalam keumumannya.[4] Sehingga menemukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang. Sesungguhnya manusia akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dari hukum, berarti bahwa filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu yang melandasinya. Dan hukum adalah sebagai suatu bagaian dari “kenyataan” dan dengan demikian memiliki sifat-sifat kenyataannya. Filsafat adalah filsafat hal merefleksi, suatu kegiatan berpikir dan juga memiliki sifat rasional, sehingga filsafat berada dalam dimensi dari komunikasi intersubjektif yang merupakan hasil dari pengembangan suatu hubungan-diskusi (diskursif) terbuka dari subjek-subjek dan antara yang lainnya sehingga filsafat tidak memiliki nilai-nilai pendirian dagmatik suatu kemutlakan yang harus diikuti.[5] Filsafat hukum sangat menentukan dengan kaitannya dengan pembentukan produk hukum, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).[6] Dalam filsafat hukum ada berbagai macam aliran-aliran atau mazhab dan terdapat dialektika antar aliran-aliran atau mazhab filsafat hukum yang membahas asal usul terciptanya hukum. Aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut sangat perlu dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya. Penulis memandang perlu atas pembahasan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam filsafat hukum dan aliran-aliran filsafat hukum, sehingga penulis mengambil sebuah JUDUL; “Problematika Filsafat Hukum Dan Paradikma Dialektik Aliran-Aliran Filsafat Hukum”. Dengan RUMUSAN MASALAH; 1) Bagaimana uraian problematika dan permasalahan serta pertanyaan dalam filsafat hukum?. 2) Bagaimana paradikma dialektik dalam aliran-aliran filsafat hukum?.
II. PEMBAHASAN
A. Problematika Filsafat Hukum
Dalam filsafat hukum terdapat problematika dan permasalahan serta pertanyaan adalah sebagai berikut; masalah hukum dan kekuasaan, hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat, hukum dan nilai-nilai social budaya, apakah sebabnya orang menaati hukum?, apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?, etika da kode etik profesi hukum. Adapun uraian problematika dan permasalahan serta pertanyaan, sebagi berikut;[7]
Dalam filsafat hukum terdapat problematika dan permasalahan serta pertanyaan adalah sebagai berikut; masalah hukum dan kekuasaan, hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat, hukum dan nilai-nilai social budaya, apakah sebabnya orang menaati hukum?, apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?, etika da kode etik profesi hukum. Adapun uraian problematika dan permasalahan serta pertanyaan, sebagi berikut;[7]
i) Masalah hukum dan kekuasaan.
Dalam sebuah penerapan hukum disuatu negara maka diperlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya guna tercapainya efektifitas sebuah produk hukum, sehingga kekuasaan diperlukan guna penegakkan hukum yang bersifat memaksa. Maka baik buruk suatu kekuasaan, tergantung bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan sehingga dapat dilihat dari kebermanfaatannya atau disadari dalam kehidupan masyarakat. Unsur pemegang kekuasaan adalah merupakan faktor terpenting dalam penggunaan kekuasaan yang sesuai kehendak atau norma-norma dalam masyarakat. Penguasa yang baik memiliki berbagai sifat seperti jujur dan adanya pengabdian pada masyarakat. Sehingga diperlukan pembatasan dalam kekuasaan, kesadaran hukum masyarakat adalah pembatasan yang paling ampuh bagi pemegang kekuasaan. Hukum dan kekuasaan merupakan hubungan erat tidak dapat dipisahkan. Peperzak mengatakan hubungan hukum dan kekuasaan dapat diperlihatkan ada dua cara;[8] (a) pertama; telaah dkonsep sanksi. Legitimasi yuridis (pembenaran hukum) dalam sanksi sangat perlu sehingga system aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil dalam penerapannya diperlukan eksistensi kekuasaan (force) dengan dukungan tenaga. (b) kedua; telaah konsep penegakan kanstitusi. Penegaka konstitusi adalah merupakan penegakan procedur dalam pembinaan hukum dengan mengasumsikan digunakannya force, guna pelindung terhadap system aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya. Force dapat diwujudkan dalam betuk adalah sebagai berikut keyakinan moral masyrakat, consensus rakyat, karismatik pemimpin, kekuasaan merupakan kekuasaan.
Dalam sebuah penerapan hukum disuatu negara maka diperlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya guna tercapainya efektifitas sebuah produk hukum, sehingga kekuasaan diperlukan guna penegakkan hukum yang bersifat memaksa. Maka baik buruk suatu kekuasaan, tergantung bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan sehingga dapat dilihat dari kebermanfaatannya atau disadari dalam kehidupan masyarakat. Unsur pemegang kekuasaan adalah merupakan faktor terpenting dalam penggunaan kekuasaan yang sesuai kehendak atau norma-norma dalam masyarakat. Penguasa yang baik memiliki berbagai sifat seperti jujur dan adanya pengabdian pada masyarakat. Sehingga diperlukan pembatasan dalam kekuasaan, kesadaran hukum masyarakat adalah pembatasan yang paling ampuh bagi pemegang kekuasaan. Hukum dan kekuasaan merupakan hubungan erat tidak dapat dipisahkan. Peperzak mengatakan hubungan hukum dan kekuasaan dapat diperlihatkan ada dua cara;[8] (a) pertama; telaah dkonsep sanksi. Legitimasi yuridis (pembenaran hukum) dalam sanksi sangat perlu sehingga system aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil dalam penerapannya diperlukan eksistensi kekuasaan (force) dengan dukungan tenaga. (b) kedua; telaah konsep penegakan kanstitusi. Penegaka konstitusi adalah merupakan penegakan procedur dalam pembinaan hukum dengan mengasumsikan digunakannya force, guna pelindung terhadap system aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya. Force dapat diwujudkan dalam betuk adalah sebagai berikut keyakinan moral masyrakat, consensus rakyat, karismatik pemimpin, kekuasaan merupakan kekuasaan.
ii) Hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat.
Roscoe Pound mengutarakan hukum adalah sebagai alat pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya “An Introduction to the Philosophy of Low” (1954).[9] Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a tool of sacial engineering” yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau (dapat dikatakan pencerminan narma-norma dalam masyarakat), guna pembaruan serta menguban sikap mental masyarakat tradisional kea rah modern. Sebagai contoh keharusan pembuatan sertifikat tanah dan lain sebagainya.
Roscoe Pound mengutarakan hukum adalah sebagai alat pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya “An Introduction to the Philosophy of Low” (1954).[9] Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a tool of sacial engineering” yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau (dapat dikatakan pencerminan narma-norma dalam masyarakat), guna pembaruan serta menguban sikap mental masyarakat tradisional kea rah modern. Sebagai contoh keharusan pembuatan sertifikat tanah dan lain sebagainya.
iii) Hukum dan nilai-nilai social budaya.
Hukum dan nilai-nilai social budaya mempunyai kaitan erat, sebagai mana dikemukakan perintis ahli antropologi hukum seperti Sir. Henry Maine,A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H.Lowie di abad ini.[10] Dalam kaitan eratnya hukum dan social budaya masyarakat, maka hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Bangsa kita pada saat ini dalam massa transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang tradisional ke nilai-nilai yang modern, akan tetapi masih banyak persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang dapat digantikannya. Berkenaan dengan hal tersebut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan kepribadian nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak mempraktekkan nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.[11]
Hukum dan nilai-nilai social budaya mempunyai kaitan erat, sebagai mana dikemukakan perintis ahli antropologi hukum seperti Sir. Henry Maine,A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H.Lowie di abad ini.[10] Dalam kaitan eratnya hukum dan social budaya masyarakat, maka hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Bangsa kita pada saat ini dalam massa transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang tradisional ke nilai-nilai yang modern, akan tetapi masih banyak persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang dapat digantikannya. Berkenaan dengan hal tersebut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan kepribadian nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak mempraktekkan nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.[11]
iv) Apakah sebabnya orang menaati hukum?.
Hukum dapat ditaati oleh masyarakat dapat di telaah hukum tersebut ditaati karena dibuat oleh pejabat yang berwenang atau atas kesadaran masyarakat karena atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting yang dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai berikut; (a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah), yang bersifat langsung (Tuhan) atau tidak langsung (Penguasa adalah tangan Tuhan), (b) Teori Perjanjian Masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum; Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645) “Orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena benjanji untuk menaatinya”, Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul karena perjanjian pada waktu manusia dalam keadaan berperang guna terciptanya suasana damai antar mereka dan disusul dengan perjanjiaan semuanya dengan seseorang yang hendak diserai dengan kekuasaan yang bersifat absolute”, John Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau (1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada orang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu (pemerintahan demokrasi)” (c) Teori Kedaulatan Negara, Hans Kelsen menyebutkan bahawa “orang tunduk pada hukum karena wajib mentaatinya karena hukum adalah kehendak negara” (d) Teori Kedaulatan Hukum, hukum mengikat bukan kearena negara mengendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).[12]
Hukum dapat ditaati oleh masyarakat dapat di telaah hukum tersebut ditaati karena dibuat oleh pejabat yang berwenang atau atas kesadaran masyarakat karena atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting yang dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai berikut; (a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah), yang bersifat langsung (Tuhan) atau tidak langsung (Penguasa adalah tangan Tuhan), (b) Teori Perjanjian Masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum; Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645) “Orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena benjanji untuk menaatinya”, Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul karena perjanjian pada waktu manusia dalam keadaan berperang guna terciptanya suasana damai antar mereka dan disusul dengan perjanjiaan semuanya dengan seseorang yang hendak diserai dengan kekuasaan yang bersifat absolute”, John Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau (1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada orang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu (pemerintahan demokrasi)” (c) Teori Kedaulatan Negara, Hans Kelsen menyebutkan bahawa “orang tunduk pada hukum karena wajib mentaatinya karena hukum adalah kehendak negara” (d) Teori Kedaulatan Hukum, hukum mengikat bukan kearena negara mengendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).[12]
v) Apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?.
Membahas tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum sebagai jawaban atas pertanyaan, apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?. Kita mengenal berbagai teori kedaulatan sebagaimana diatas tersebut, maka seseorang dapat dilihat sebab mengapa mereka tunduk dan taat hukum. Adapun jawaban berbagai teori kedaulatan adalah sebagai berikut;[13]
a) Teori Kedaulatan Tuhan, mencoba menjawab orang dapat dihukum karena dia dapat merusak dan membahayakan serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara adalah badan yang mewakili Tuhan (Allah) didunia yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukumdi dunia.
b) Teori Perjanjian Masyarakat, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negara mempunyai otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak masyarakat itu sendiri adanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat.
c) Teori Kedaulatan Negara, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negaralah yang berdaulat sehingga hanya negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang melanggar ketertiban dalam masyarakat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang mencipatakan peraturan-peraturan hukum.
Membahas tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum sebagai jawaban atas pertanyaan, apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?. Kita mengenal berbagai teori kedaulatan sebagaimana diatas tersebut, maka seseorang dapat dilihat sebab mengapa mereka tunduk dan taat hukum. Adapun jawaban berbagai teori kedaulatan adalah sebagai berikut;[13]
a) Teori Kedaulatan Tuhan, mencoba menjawab orang dapat dihukum karena dia dapat merusak dan membahayakan serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara adalah badan yang mewakili Tuhan (Allah) didunia yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukumdi dunia.
b) Teori Perjanjian Masyarakat, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negara mempunyai otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak masyarakat itu sendiri adanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat.
c) Teori Kedaulatan Negara, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negaralah yang berdaulat sehingga hanya negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang melanggar ketertiban dalam masyarakat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang mencipatakan peraturan-peraturan hukum.
vi) Dan etika dan kode etik profesi hukum[14]
Dalam arti teknis kegiatan profesi adalah merupakan kegiatan tertentu yang memperoleh nafkah dari kegiatannya berprofesi atau berkeahlian dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan financial tinggi pula, sebagai contoh yang termasuk kegiatan profesi hukum ada dua yaitu Hakim dan Advokat dapat juga dikatakan sebagai “a tool for sacial engineering” (Roscoe Pound). Adapun kritikal terhadap kegiatan profesi adalah bahwa kegiatan profesi menunjukkan kompleks okupasional yang disiplin intelektual yang meliputi humaniora, ilmu alam, dan ilmu social, terorganisasikan, serta system cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan dalam kompleks okupasi (sistem sosial pekerja). Talcott Parsons, mencoba menjelaskan tentang krisis atas pengembanan kegiatan profesi memiliki tujuan pokok “essential goals” adalah sebagai berikut; untuk menghasilkan karya yang objektif “objective achievement” dan pengakuan (bukan hanya lambang akan tetapi berlaku dalam kontek lain, contoh berlakunya uang) atau rekognisi (kualitas professional sebagai sebuah pengakuan).
Uraian diatas tersebut kita dapat tarik benang merah kesimpulan bahwasannya profesi adalah sejumlah fungsi kemasyarakatan yang berjalan dalam suatu institusional, termasuk pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktiknya dalam bidang pelayanan rohani, teknonogi, kedokteran, hukum, informasi, dan pendidikan.
Dalam arti teknis kegiatan profesi adalah merupakan kegiatan tertentu yang memperoleh nafkah dari kegiatannya berprofesi atau berkeahlian dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan financial tinggi pula, sebagai contoh yang termasuk kegiatan profesi hukum ada dua yaitu Hakim dan Advokat dapat juga dikatakan sebagai “a tool for sacial engineering” (Roscoe Pound). Adapun kritikal terhadap kegiatan profesi adalah bahwa kegiatan profesi menunjukkan kompleks okupasional yang disiplin intelektual yang meliputi humaniora, ilmu alam, dan ilmu social, terorganisasikan, serta system cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan dalam kompleks okupasi (sistem sosial pekerja). Talcott Parsons, mencoba menjelaskan tentang krisis atas pengembanan kegiatan profesi memiliki tujuan pokok “essential goals” adalah sebagai berikut; untuk menghasilkan karya yang objektif “objective achievement” dan pengakuan (bukan hanya lambang akan tetapi berlaku dalam kontek lain, contoh berlakunya uang) atau rekognisi (kualitas professional sebagai sebuah pengakuan).
Uraian diatas tersebut kita dapat tarik benang merah kesimpulan bahwasannya profesi adalah sejumlah fungsi kemasyarakatan yang berjalan dalam suatu institusional, termasuk pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktiknya dalam bidang pelayanan rohani, teknonogi, kedokteran, hukum, informasi, dan pendidikan.
B. Dialektika Aliran-aliran Filsafat Hukum
Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa ini kita dihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, “Ibi ius ibi societas” dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut;[15]
i. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhab formalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
ii. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut; Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori hukum murni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
iii. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah sebagai berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociological jurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:
i. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhab formalitas, Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
ii. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut; Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori hukum murni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
iii. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah sebagai berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociological jurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:
1. Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan (Allah)[16], filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori plato/ aristoteles dan Thomas Aquino.
a) Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram.
b) Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teori dualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam)
c) Thomas Aquino : “Summa Theologica” dan “De Regimene Principum”. Membagi asas hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i. Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak.
ii. Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu
d) Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentang kodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusun atas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet, kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalah lapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normative etis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abad pertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaitu berisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.[17] Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
a) Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram.
b) Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teori dualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam)
c) Thomas Aquino : “Summa Theologica” dan “De Regimene Principum”. Membagi asas hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i. Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak.
ii. Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu
d) Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentang kodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusun atas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet, kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalah lapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normative etis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abad pertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaitu berisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.[17] Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
i. Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada di luar bidang hukum.
Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad pengaruhnya pada masyarakat.
Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagi berikut;
Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
ii. Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah.[18]
Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia “sollen” dan bukan dalam dunia “sain”. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya).[19] Dan John Austin mengemukakan ada dua bentuk hukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.
i. Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada di luar bidang hukum.
Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad pengaruhnya pada masyarakat.
Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagi berikut;
Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
ii. Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah.[18]
Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia “sollen” dan bukan dalam dunia “sain”. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya).[19] Dan John Austin mengemukakan ada dua bentuk hukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.
3. Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama sama dengan masyarakat.[20] Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki “volksgeist” jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang-undang.[21]
4. Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german) tapi berkembang di Amerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.[22] Mengakui sumber hukum formal baik undang undang maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positif sosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum [23] Wiliam James dan Dewey mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum, tetapi merupakan suatu gerakan “movement” dalam cara berfikir tentang hukum.[24]
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mencerminkan nilai sosial budaya.
Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mengandung sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja.
Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mencerminkan nilai sosial budaya.
Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mengandung sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja.
7. Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan mengutarakan pendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasar ekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.
Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.[25]
Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.[25]
8. Aliran Mazhab Unpad Mazhab Negara oleh Friedrich Karl von Savigny : hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volkgeist).
Kekurangan terhadap alirah Mazhab Unpad Mazhab Negara kurang memberi arti penting terhadap perundang undangan dan kebaikannya terhadap aliran ini adalah menempatkan kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang undang yang tertulis.
Kekurangan terhadap alirah Mazhab Unpad Mazhab Negara kurang memberi arti penting terhadap perundang undangan dan kebaikannya terhadap aliran ini adalah menempatkan kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang undang yang tertulis.
III. PENUTUP
Setelah pembahasan makalah diatas mengenai beberapa persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di bidang filsafat hukum dan Aliran-aliran Filsafat Hukum (Problematika filsafat hukum dan dialektika aliran-aliran filsafat hukum) sehingga dapat ditarik benang merah simpulan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul sekitar filsafat hukum adalah sebagai berikut; Masalah hukum dan kekuasaan, disuatu negara maka diperlukan suatu force untuk mendukungnya guna tercapainya efektifitas sebuah produk hukum sebagaimana hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat (Law as a tool of sacial engineering),Hukum dan nilai-nilai social budaya sangat erat kaitannya kaitannya, hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga hukum tersebut cenderung akan ditaati oleh seseorang.
Dan etika dan kode etik profesi hukum, pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora. Setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Bahwasannya inti dari paradikma dialektik aliran-aliran filsafat hukum tersebut diatas adalah merupakan penguraian-penguraian pendapat para pakar tentang hasil kajian antropologi sendiri telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, “Ibi ius ibi societas” dimana ada masyarakat disitu ada hukum adalah sebagai berikut; Aliran hukum alam , Aliran Positifisme, Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny , Sociological Yurisprudence (living law), Aliran Pragmatic Legal Realism, Aliran Antropolitica Yurisprudence, Aliran Utilitarianisme, Aliran Mazhab Unpad Mazhab Negara.
Dan etika dan kode etik profesi hukum, pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora. Setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Bahwasannya inti dari paradikma dialektik aliran-aliran filsafat hukum tersebut diatas adalah merupakan penguraian-penguraian pendapat para pakar tentang hasil kajian antropologi sendiri telah terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, “Ibi ius ibi societas” dimana ada masyarakat disitu ada hukum adalah sebagai berikut; Aliran hukum alam , Aliran Positifisme, Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny , Sociological Yurisprudence (living law), Aliran Pragmatic Legal Realism, Aliran Antropolitica Yurisprudence, Aliran Utilitarianisme, Aliran Mazhab Unpad Mazhab Negara.
Footnotes
1) Makalah untuk dipresentasikan dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tentang: Beberapa persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di bidang filsafat hukum dan Aliran-aliran Filsafat Hukum, 5 Oktober 2009, Malang.
2) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, angkatan 2009.
3) Soerjono Soekanto, 2006, Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum, Bandung: Rajagrafindo Persada, hlm.40.
4) B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama, hlm.65.
5) Ibid, hlm.65-66.
6) Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cetakan keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.154
7) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan kesembilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.75-96.
8) Ibid., hlm. 77.
9) Ibid., hlm. 78.
10) Ibid., hlm. 80. Dan Lihat artikelnya: Antropology and law dalam The Social Science, 1927 dan Incorporated and Law dalam The Social Science, 1927 dan Incorporated Property in Primitive Society dalam Law Journal, 1928.
11) Ibid., hlm. 81.
12) Ibid., hlm. 84.
13) Ibid., hlm. 85-88.
14) Ibid., hlm. 88-96.
15) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju. hlm.53.
16) Ibid., hlm. 53
17) Ibid., hlm. 55.
18) Ibid., hlm. 59-60.
19) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007.,Op.cit., hlm.60.
20) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Op.cit., hlm.63.
21) Soerjono Soekanto, 2006, Op.cit., hlm.33.
22) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Op.cit., hlm.55-66.
23) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Op.cit., hlm.68.
24) Op.cit., hlm.68.
25) Op.cit., hlm.60 – 61.
1) Makalah untuk dipresentasikan dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tentang: Beberapa persoalan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di bidang filsafat hukum dan Aliran-aliran Filsafat Hukum, 5 Oktober 2009, Malang.
2) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, angkatan 2009.
3) Soerjono Soekanto, 2006, Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum, Bandung: Rajagrafindo Persada, hlm.40.
4) B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama, hlm.65.
5) Ibid, hlm.65-66.
6) Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cetakan keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.154
7) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan kesembilan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.75-96.
8) Ibid., hlm. 77.
9) Ibid., hlm. 78.
10) Ibid., hlm. 80. Dan Lihat artikelnya: Antropology and law dalam The Social Science, 1927 dan Incorporated and Law dalam The Social Science, 1927 dan Incorporated Property in Primitive Society dalam Law Journal, 1928.
11) Ibid., hlm. 81.
12) Ibid., hlm. 84.
13) Ibid., hlm. 85-88.
14) Ibid., hlm. 88-96.
15) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju. hlm.53.
16) Ibid., hlm. 53
17) Ibid., hlm. 55.
18) Ibid., hlm. 59-60.
19) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007.,Op.cit., hlm.60.
20) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Op.cit., hlm.63.
21) Soerjono Soekanto, 2006, Op.cit., hlm.33.
22) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Op.cit., hlm.55-66.
23) Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2007, Op.cit., hlm.68.
24) Op.cit., hlm.68.
25) Op.cit., hlm.60 – 61.
DAFTAR PUSTAKA
B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama.
Darji Darmodiharjo, Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cetakan keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju.
__________________________, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan kesembilan, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekanto, 2006, Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum, Bandung: Rajagrafindo Persada.