DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Semenjak diterapkannya sistem pemasyarakatan dalam melakukan
pembinaan terhadap pelaku-pelaku kejahatan yang sudah divonis bersalah melalui
Pengadilan, tingkat kejahatan tidak juga menurun, justru semakin bertambah dan
terus bertambah. Tidak sedikit pelaporan tindak pidana yang dilaporkan ke
Kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.
Perimbangan antara jumlah SDM Polisi dengan pelaporan yang
masuk menjadi salah satu faktor terlukainya nilai-nilai keadilan di negeri ini.
Pemerintah belum mampu untuk memberikan dana operasional yang memadai bagi para
Penyidik POLRI guna menyelesaikan permasalahan yang dilaporkan, sehingga
memunculkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang pantas di dalam proses penyidikan,
misalnya dengan meminta biaya tambahan kepada si pelapor, bahkan juga kepada
Terlapor. Sehingga tak heran jika terdapat perkara-perkara sepele yang
dilaporkan namun tetap akan diproses karena si Pelapornya termasuk golongan
orang-orang “berUang”.
Namun, perilaku tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya
kepada POLRI, hal ini merupakan satu kesatuan dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dimana sistem hukum di Indonesia, memang telah menciptakan
aparat penegak hukum hanya sebagai “toa masjid” saja. Apa isi undang-undang,
itulah yang mereka jalankan. Dan dapat dimaklumi, bahwa tidak semua polisi
adalah lulusan sarjana hukum pada awalnya. Sehingga sangat susah untuk
diharapkan penanganan perkara yang humanis.
Problematika tersebut bukan hanya ditingkat Kepolisian saja,
bahkan hingga sampai kepada tingkat Mahkamah Agung. Kewenangan untuk mengambil
langkah-langkah yang humanis, pada saat ini, telah diamanatkan oleh
masing-masing payung hukumnya. Namun kultur budaya di masing-masing institusi
yang susah untuk dirubah.
Kepolisian dan Kejaksaan telah diberikan kewenangan untuk
melakukan diskresi terhadap permasalahan-permasalahan yang bisa diselesaikan
tanpa memperpanjang konflik atau sengketa, namun sangat jarang digunakan
kecuali ada keuntungan finansial yang nyata.
BAB II PEMBAHASAN
1. Restorasi Justice
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu
pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban,
pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak
semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam
hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga
didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf,
mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan
masyarakat. Pendekatan Restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan
baik korban maupun pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatan Restorative
Justice (Keadilan Restoratif) membantu para pelaku kejahatan untuk
menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan datang.
Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan
yang menganggap kejahatan dan pelanggaran, pada prinsipnya adalah
pelanggaran terhadap individu atau masyarakat dan bukan kepada negara. Restorative
Justice (Keadilan Restoratif) menumbuhkan dialog antara korban
dan pelaku akan menunjukkan tingkat
tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada
dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal
dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun
perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada
korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga
dan masyarakat bila diperlukan.
2. Restorasi justice dalam system Hukum Indonesia
Dalam
ke-Indonesia-an, maka diartikan bahwa Restorative Justice sendiri
berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan
pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari
penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula.[1]
Pengenalan Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
di dalam sistem hukum Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh DS. Dewi sebagai berikut:
“Penerapan
Retorative Justice (keadilan restoratif) juga terlihat pada beberapa
kebijakan penegak hukum, diantaranya:
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
- Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak
- Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
- MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
- Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan
- Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
- Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP
- TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi
- Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009
- Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.”
Penerapan Restorative Justice juga terlihat dari
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dimana Sistem
Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan
sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian
yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Namun,
dari seluruh ketentuan yang ada, tidaklah merupakan satu kesatuan yang utuh dan
terkesan berdiri sendiri, serta tidak menyeluruh pada setiap tingkatan
pemeriksaan pada proses perkara pidana. Dimana hanya pada tindak pidana
tertentu saja ditekankan pendekatan Restorative Justice tersebut, dalam
hal ini adalah permasalahan hukum yang berkaitan dengan subyek hukumnya adalah
Anak.
3. Mediasi Penal dalam Sistem Hukum Di Indonesia
Adalah wujud dari Restorative Justice, yaitu
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, dengan melalui instrumen
mediasi atau artbitrase atau konsiliasi. Namun demikian, tidaklah semua jenis
tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui penal mediation.
Penal Mediation sebagai konsekuensi dianutnya reastorative
justice lebih memfokuskan kepada penyelesaian perkara pidana di luar
persidangan yang berskala kecil atau memiliki nominal yang kecil. Hal ini pada
dasarnya juga sudah berlaku namun hanya pada perkara-perkara yang tergolong
kepada tindak pidana ringan, namun hingga saat ini, dalam praktek yang termasuk
ke dalam tindak pidana ringan hanyalah pelanggaran lalu lintas. Dimana Polri cq
Polantas, lebih sering menggunakan diskresi dalam menyelesaikan pelanggaran
lalu lintas.
Penal mediation juga nampak pada perkara-perkara
yang bersifat aduan atau delik aduan. Dimana pencabutan pengaduan oleh pihak
Pelapor, tak jarang, pihak Penyidik memberikan saran agar tercipta perdamaian,
sehingga laporan dapat dicabut. Walaupun inisiatif tersebut tetap
dilatarbelakangi oleh nilai nominal yang diharapkan oleh Penyidik hanya sebagai
penggantian uang lelah dan uang kertas, namun hal-hal tersebut patut
diapresiasi.
Fenomena
hukum yang terjadi sepanjang tahun 2010 s/d tahun 2012 ini, dimana muncul
perkara-perkara yang bernilai kecil namun tetap dilanjutkan proses
penyidikannya, dengan dalih pihak pelapor enggan mencabut laporannya, sehingga
tidak dapat diselesaikan dengan damai.
Kita tentu masih ingat perkara Sandal Jepit di Palu, perkara
pencurian buah Cacao oleh Nenek Minah ataupun perkara pencurian piring di
Bekasi. Perkara-perkara tersebut tentu sangat berbanding terbalik dengan
perkara-perkara korupsi yang marak dibicarakan. Sangat sedikit orang-orang akan
membicarakan perkara tersebut karena nominalnya sangat kecil, namun dikarenakan
media massa berani meng-ekspose, sehingga ramai dibicarakan oleh banyak pihak.
Penyidik
seharusnya dapat menempatkan dirinya sebagai seorang mediator dalam membangun
komunikasi antara pelaku dengan korban demi mencapai rasa keadilan dan
kemanfaatan bagi semua pihak. Namun, Penyidik lebih senang larut dalam emosi
balas dendam (retributive justice theory) dari korban dengan berlindung
pada dua hal yaitu:
1.
Apa yang dilakukan oleh Penyidik sudah sesuai dengan amanat Undang-undang; dan
2.
Kewenangan Penyidik dalam menghentikan perkara dibatasi syaratnya oleh KUHAP Disertai dalil pembenaran, yaitu:
1.
Seberapa seringkah pelaku melakukan tindak pidana secara berulang-ulang?;
2.
Penal Mediation akan menjadi preseden yang buruk bagi calon pelaku
lainnya.
Secara yuridis formal, apa yang dilakukan oleh Penyidik
memang memenuhi asas kepastian hukum. Bahwa baik KUHAP maupun UU Kepolisian
tidak memberikan kewenangan untuk menghentikan perkara, kecuali atas 3 (tiga)
syarat, yaitu:
1.
Perkara tersebut bukanlah merupakan tindak pidana;
2.
Tindak pidana yang terjadi tidak cukup bukti untuk dilanjutkan pemeriksaannya;
dan
3.
Tersangka atau Terlapor meninggal dunia.
Namun demikian, baik KUHAP maupun UU Kepolisian memberikan
ruang gerak yang cukup untuk melakukan diskresi dengan dasar demi kepentingan
umum. Kondisi yang sama juga terjadi pada ranah penuntutan yaitu pada lembaga
Kejaksaan. Sebagaimana layaknya lembaga pemerintahan, dalam ranah Hukum
Administrasi Negara, Kejaksaan pun memiliki kewenangan untuk menghentikan
penuntutan dengan alasan demi kepentingan umum, yaitu melalui Surat
Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Karena syarat untuk melakukan diskresi baik pada Penyidikan
dan Penuntutan adalah “demi kepentingan umum” maka seringkali terjadi
penafsiran negatif yang dilandaskan kepada kepentingan “finansial”.
Karena hingga saat ini, baik melalui peraturan
perundang-undangan nasional maupun internasional, tidak pernah ada definisi
yang mampu menggambarkan secara gamblang dengan apa yang dimaksud dengan “demi
kepentingan umum” tersebut.
Restorative Justice Theory pada prinsipnya memberikan batasan
yang cukup bagi para penegak hukum untuk mendeskripsikan frase “demi
kepentingan umum” tersebut, yaitu dengan membangun komunikasi antara pelaku,
korban dan penegak hukum agar menghasilkan output yang bermanfaat bagi semua
pihak
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
Restorasi
justis suatu pendekatan keadilan yang
memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga
melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan
hukum atau semata-mata penjatuhan pidana.
Mediasi penal merupakan wujud dari
restorasi justice.yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, dengan
melalui instrumen mediasi atau artbitrase atau konsiliasi.