A.
PENDAHULUAN
Dalam Negara kesejahteraan (social service state, welfare state, welvaarstaat, besturzorg,
verzorgingsstaat),[1]
Tugas pemerintah semakin bertambah luas karena pemerintah sebagai penyelenggara
tugas servis public harus memasuki beberapa aspek kehidupan masyarakat untuk
melayani kepentingan masyarakat yang sangat kompleks, rumit dan luas. Berkaitan
dengan itu, menurut B.L.W. Visser
yang dikutip oleh Bagir Manan[2]
bahwa tugas servis public yang menjadi tanggungjawab Administrasi Negara,
merupakan konsekuensi pelaksanaan konsepsi Negara kesejahteraan. Dalam konsep
Negara kesejahteraan, tugas dan wewenang serta tanggungjawab administrasi
Negara semakin berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lama berkembang.
Dalam melaksanakan tugas servis
public tersebut, dibutuhkan lembaga-lembaga atau standar tertentu untuk menjamin terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Sebagai Negara kesejahteraan,
pemerintah memeliki tanggungjawab yang luas dengan ikut campur tangan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
dengan tetap berpijak pada peraturan perundang-undangan dan juga memiliki
kewqenangan Diskresi/ Freies Ermessen.
Negara republic Indonesia sebagai
Negara hokum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hendak mewujudkan tujuannya
sebagai termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 , Antara lain memajukan
kesejahteraan umum. Tujuan tersebut merupakan cirri Negara kesejahteraan
(Welfare State), yang berkarakter spesifik yaitu berusaha mewujudkan
kesejahteraan fisik-kebendaan dan mental spiritual secara seimbang.
Salah satu bidang penting yang
menjadi lahan garapan dan tanggungjawab
pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah bidang
perekonomian rakyat. Hal mana sejalan
dengan pemikiran Didik J.
Rachbini[3]
bahwa dalam system ekonomi kompleks, para pelaku ekonomi tak terbatas pada
swasta, melainkan pemerintah yang berperan dalam mengatur agar system ekonomi
berjalan dengan baik. Pemerintah tampil sebagai pengatur yang baik (regulator) , agar system ekonomi
berkembang harmonis sesuai dengan realita social.
Selain
Sebagai regulator , Pemerintah juga terlibat secara langsung dalam bidang
perekonomian, antara lain dalam menghadirkan Perusahaan Negara atau sering
disebut “Badan Usaha Milik Negara” (BUMN). Menurut Robert Fabrikant dalam T.
Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum,[4]
BUMN tidak lain daripada bentuk
kebijaksanaan pemerintah dalam mencoba menciptakan atau mempertahankan
keseimbangan kasar antara sector swasta dan sector pemerintah. Dalam hal
demikian, BUMN diharapkan berperan sebagai faset perekonomian Negara dan faset
aparatur perekonomian Negara.
Dalam
statusnya sebagai faset aparatur perekonomian Negara atau juga disebut sebagai
organisasi ekonomi Negara,[5]
Negara memiliki kekuasaan untuk mencapai
tujuan dari kegiatan yang dilakukannya, melakukan monopoli, dan
menentukan bentuk system dan produk apa saja yang hendak dihasilkan tanpa
mengindahkan hokum-hukum pasar yang berlaku. Dengan demikian Negara hanya
melakukan kegiatan yang seharusnya dilakukan, seperti kegiatan untuk memajaki
rakyat (Power of tax) dan tidak
melakukan kegiatan bisnis biasa.
Sehubungan
dengan status pemerintah sebagai aparatur perekonomian Negara tersebut, dalam pengaturan
tentang BUMN di Indonesia (terutama UU No. 19/Prp/1960, UU 9/1969,PP 3/1983
Sebagaimana diubah dengan PP 28/1983)
diberikan wewenang kepada pemerintah untuk membina dan mengawasi BUMN tersebut
ternyata mengalami diregulasi seiring dengan arus swastanisasi yang melanda
BUMN. dengan kecenderungan swastanisasi BUMN mengurangi intervensi pemerintah
terhadap BUMN, maka fenomena diregulasi pengawasan pemerintah tidak terelakkan
lagi , antara lain sebagaimana diatur dalam PP.12/1988 tentang Perusahaan
Perseroan (Persero), PP.13/ 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum) dan
Keputusan Presiden (Keppres) 64/1998
tentang badan Pengelola BUMN. Oleh karena itu, tulisan ini akan menyoroti
fenomena tersebut dengan menggunakan pendekatan hokum administrasi.
B. PERUSAHAAN NEGARA DAN KONSEP DEREGULASI
1. Perusahaan Negara : Status,
penggolongan dan peranannya
Perusahaan Negara sering dilihat
sebagai fenomena yang relative baru. Suatu penelitian sejarah industry menunjukkan
bahwa perusahaan Negara itu bukan semata-mata ciptaan Negara saja, melainkan
sejak semula bangsa-bangsa barat mendirikan perusahaan Negara sebagai
perpanjangan diri mereka sendiri dalam usahanya untuk memungkinkan perluasan
ektrateritorial. Misalnya, The East India Company dari inggris (1599-1958)
melainkan peranan penting dalam perkembangan inggris sebagai suatu kekuatan
colonial . sebenarnya, perusahaan-perusahaan Negara ini merupakan pendahulu
perusahaan-perusahaan multinasional masa kini. Perbedaannya terletak hanya pada
bagian luarnya saja. perbedaan yang paling penting adalah bahwa perusahaan
Negara yang lama dicitakan terutama untuk alas an-alasan ekonomi, dan
kebanyakan terlibat dalam mkegiatan perdagangan. Namun untuk memudahkan usaha-usaha
komersialnya, perusahaan tersebut sedikit demi sedikitdi beri fungsi pemerintah
dan politik.
Perusahaan multinasional modern juga
dimaksudkan sebagai alat ekonomis, sekalipun perusahaan multinasional tidak
memiliki wewenang pemerintahan dan politik, namun perusahaan tersebut amat
otonom dan mempunyai kekuasaan sangat besar yang mirip dengan pemerintah[6]
[1]
Negara kesejateraan merupakan konsep Negara modern sebagai akibat dari perkembangan
konsep Negara hokum. Welfare State
itu sendiri dipahami sebagai integrasi dari fakta-fakta ekonomi dan ide umum
tentang keadilan, termasuk juga dalamnya terdapat rembesan dan berfungsinya hokum dalam berbagai
aspek kehidupan social. Dengan demikian, hokum berjalin dengan Negara
kesejahteraan. Jalinan tersebut dipahami
sebagai hubungan langsung dan terbuka
antara hokum dan Negara kesejateraan”. Lihat Jan M. Broekman, dalam Gunter
Teuber, Dilemmas of law in the Welfare
State, Walter de Gruyter, Berlin, New York, 1986, hlm.79.
[2]
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hlm. 14.
[3]
Didik J. Racbini, Posisi Pasar dan Negara, Majalah Gatra, No. 17 Tahun I, 11
Maret 1995, hlm. V.
[4] T.
Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, Penyunting, Peranan Hukum Dalam Perekonomian di Negara Berkembang, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 208.
[5]
Didik J. Rachbini, loc. Cit.
[6]
Robert Fabrikant, dalam T. Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum, op.cit., hlm. 209
0 komentar:
Posting Komentar