Pages

List

Selasa, 14 Mei 2013

MENGGALI DAN MENEMUKAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK DI INDONESIA


            Pada  saat konsef rechtaat atau rule of law  diintrodusir pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20,  suasa ketika itu sangat di domonasi gagasan bahwa Negara dan pemeerintahan tidak campur tangan dalam urusan kehidupan warga Negaranya, kecuali berkaitan dengankepentingan umum seperti perang dan hubungan luar negeri. Negera hanya dianggap sebagai nachwachterstaat atau Negara penjaga malam[1]. Gagasan ini sesuai dengan faham ekonomi liberal yang berlaku pada waktu itu yang  dikuasai dalil laisez faire, laissez aller, artinya jika setiap orang diberikan kebebasan mengurus ekonominya masing-masing, maka dengan sendirinya Ekonomi negra akan sehat. Urusan Ekonomi terlepas campur tangan Negara.
            Akibat faham liberalism pada tahun 1930 muncul krisis dibidagng Ekonomi Negara-negara didunia. Untuk mengatasi situasi ini butuh bantuan Negara. Akibatnya, campur tangan Negara mulai masuk merasuki kehidupan masyarakat. Teori Negara kesejahteraan  atau Negara tipe walfare state mulai berkembang dengan pesat.
            Konsekoensi yuridis dari itu, fungsi hokum administrasi Negara berkembang pula dengan pesat dan sentuhan hukum administrasi Negara terhadap perkembangan politik menemukan aktualisasinya.
            Sebenarnya istilah Negara kesejahteraan atau welfare state disebut juga socialist Legality atau  sociale rechtaat[2] atau rule of law atau rechtaat. Akan tetapi corak dan sifatnya. berbeda dengan rule of law atau rechtaat sebagaimana diintrodusir oleh Immanuel kent dan ficte, karena itu Negara kesejahteraan disebut sebagai “Negara Hukum modern”.
            Dalam hukum modern tugas Negara tidak hanya terletak pada pelaksanaan Hukum, tetapi juga mencapai keadilan social (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat[3]. Untuk mencapai tujuan itu administrasi Negara memerlukan kemerdekan/kebebasan dalam melaksanakan fungsinya. Namun demikiian administrasi Negara pada perinsifnya harus tetfap berpegang pada asa legalitas sebagai salahsatu asas Negara hukum ssehingga tidak bertindaj sewenagng-wenang.
            Dengan dibrikannya kebebasan bertindak kepada adminstrasi Negara ternyata dalam praktek selama ini sering menimbulkan kerugian bagi waarga masyarakat, laebih-lebih dalam hal keadaan mendesak dimana administrasi Negara harus mengambil tindakan, sedangkan peraturan hukum secara tertulis belum mengaturnya. Karna itu lah di Nederland pada tahun 1950 panitia mochy membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik untuk melindungi warga Negara dari tindakan adminstrasi Negara yang sewenang-wenang.
            Indonesia ialah Negara yang berdasarkan aatas hukum (rechtaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtaat), artinya Indonesia mengakuai dan menganut paham kedaulatan hukum. Menurut ajaran kedaulatan Krabe, kekuasaan tertiinggi tidak terletak pada kehendak pribadi raja, melaikan pada hukum. Jadi kekuasaan hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam Negara dan segala kekuasaan harus tunduk pada hukum.
            Kecuali itu Indonesia juga Negara demokrasi yang menganut faham kedaulaatan rakyat. Antara faham kedaulatan hukum dan faham kedaulatan rakyat harus tetap seiring dan sejalan, sehingga mewujudkan duet integral secara harmonis berdasarkan prinsif monodualisme.
            Sebagai Negara hukum yang berorientasi pada Negara kesejahteraan, intensitas canpur tangan Negara dalam kehidupan masyarakat semakin berkembang, sehingga peranan HAN semakin dominan dan penting. Karena itu Administrasi Negara memerlukan kemerdekaan/ kebabasan dalam melaksanakan fungsinya. Dalam hal demikian, kebutuhan terhadap perlindungan hukumpun semakin diperlukan. Perlindungan hukum itu tidak saja dibutuhkan oleh warga Negara untuk melindungi dirinya sendiri dari sikap tindak administrasi Negara tetapi juga oleh administrasi Negara untuk melaksanakan tugasnya.
            Berkaitan dengan perlindungan hukum tersebut, ditemukan  landasan hukumnya pada pasal 53 ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 yang pada pokoknya berfungsi untuk melakukan control terhadap sikap tindak administrasi Negara, memberikan perlindungan hukum terhadap warga dan juga memberikan perlindungan terhadap administrasi Negara.
            Untuk memberikan perlindungan hukum itu, diperlukan perangkat hukum sebagai tolak ukurnya. Hukum yang dimaksud ialah ketentuan-ketentuan peraaturan-peraturan perundang-undangan tertulis maupun tidak tertulis, asas-asas umum pemerintahan yang baik akan sangat besar artinya dijadikan sebagai tolok ukur. Karnanya a.u.p.b. itu harus digali dan dditemukan dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang bersumber dan sesuai dengan UUD 1945 dan pancasila, hukum benar-benar dijadikan supreme.
            Dalam rangka mengali dan menemukan a.u.p.b. itu, oleh pemerintah ketika memebrikan jawaban terhadap pamandangan umum praksi-praksi di DPR atas RUU PTUN, 20 mei 1986, mengatakann bahwa a.u.p.b. itu dapat dikembangkan melalui jurisprudensi lewat kasus-kasus konkrit, sehingga akan menimbulakan norma-norma baru dalam lapangan HAN[4].
            Tugan untuk menggali dan menemukan asas-asas tersebut dibebankan pada hukum peradilan tata usaha Negara, sehingga tugas hakitm tata Negara semakin berat, karna itu ia tidak saja bertugan menerima, memeriksa dan mengadili seerta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan padanya.tidak saja mengkonstrastratirbenar tidaknya peristiwa yang diajukan, tetapi lebiih dari itu, ia harus mengadili, menyelesaikannya dan menemukan hukumnya.
Menggali dan menemukan hukum bukanlah hal yang sangat mudah dan sederhana. Menggali dan menemukan hukum tidak sekedar mencari undang-undangnya agar dapat diterfpakan pada peristiwa konkrit. Hakim pertama-tama harus mengarahkan pristiwa-peristiwa konkrit itu pada undang-undagnnya,dan sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkrit. Dengan demikian, hakim harus  menemukan a.u.p.b. itu dari falsapah Negara, konstitusi, tujuan Negara dan kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
 
            Dengan diberikannya kebebasan bertindak kepada administrasi Negara dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan walfre state atau social rechtaat dibelanda, timbul kekhawtiran akibat dari freise Ermesen akan menimbulakan kerugian bagi warga masyarakat. Karna itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi masyarakat, tahun 1950 panitia de Mochy di Nederland membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik (a.u.p.b.) jadi lahirnya istilah asas umum pemerintfahan yang baik ini dapat ditunjuk pada pelaporan panitia de Mochy.
            Pada mulanya timbul keberatan terhadap konsef de Mochy tersebut, terutama dari pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah Nederland, karena da kekhawatiran bahwa hakim dan pengadilan adminstrasi kelak akan mempergukan istilah itu untuk memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah.  Namun keberatan demikan sekarang ini telah lenyap ditelan masa karena telah kehilangan relevansinya.  Freise Ermessen tetap dapat dilaksanakan pemerintah dalam melakuan funsinya. Bahkan untuk masa sekarang ini asas-asas umum pemerinthan yang baik itu telah diterima dan telah dimuat dalam berbagai Undang-Undagn di Nederland serta yurisprudensinya. Misalnya pasal 8 Wet AROB menegaskan agar hakim melakukan pengujian, demikian juaga undang-Undang pengadilan administrasi organisasi perusahaan (art 5) dan UU Umum mengenai pajak Negara (arat 27).
            Meskipun usul panitia de Mochy tentang a.b.b.b. itu tidak diterima seluruhnya dalam system legislasi di Nederland, tetapi ajaran itu kemudian dikembangkan oleh teori ilmu hukum dan jurisprudensi baik di lingkungan administrasi Negara maupun oleh putusan-putusan pengadilan. Berbagai asas yang telah memperoleh tempat layak dalam perundang-Undangan dan jurispprudensi di Nederland itu, kemudian secara umum dikelompokan menjadi dua katagori, yakni a.b.b.b. yang bersifa fomal dan materil. Melakukan pengelompokan atas dasdr formal dan materiel itu secara tajam, dalam hal-hal tertentu bias dianggap kurang relevan, karna dalam pembetukan suatu beschikking , kedua sifat formal dan materiel itu selalu membaur.tatapi apabila digunakan untuk melakuan pengujain terhadap suatu  beschikking maka pembedaan sifat formal dan materiel itu justru sangat relevan, karna dengan demikian akan mempermudah melakukan pengujian terhadap suatu beschikking yang sedang disengketakan.
            Beberapa a.b.b.b. yang telah memperoleh tempat yang latak dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi di Nederland dan dikembangkan oleh teori ilmu hukum, antara lain[5]:
1.      Asa bertindak cermat
2.      Asas motivasi
3.      Asas kepastian hukum.
4.      Asas kesamaan dalam mengambil keputusan
5.      Asas meniadakan akibat-akibat sauatu putusan yang batal
6.      Asas meanggapi penghargaan yang wajar
7.      Asas kebijak sanaan
8.      Asas jangan mempercampuradukan kewenagan.
9.      Asas keadilan dan kewajaran
10.  Asas penyelengaraan kepentingan umum.
11.  Asa keseimbangan.
12.  Asas permainan yang layak.
13.  Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara) hidup pribadi.
Diatas telah dinyatakan bahwa dirumuskan asas-asas tersebut berpangkal pada teri-teoti hukum umumnya dan yurisprudensi sserta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Karna itu apabila asas-asas tersebut akam digali dalam  tata hukum Indinesia, maka asas-asas itupun teidak boleh terlepas dari teori Ilmu hukum, yurisprudensi dan norma-noram yang hidup dalam masyarakat Indoonesia serta dasar falsafah pancasila, UUD 1945 dan tujuan Negara Republik Indonesia.
            Penggunaan istilah (nomenklatur) atau termenologis gebruik dalam membahas suatu objek kajian adalah penting, terutama untuk memberikan batasan  terhadap objek yang sedang dibahas itu. Istilah Algemene Beginselen van Beboorlijke Bestur (a.b.b.b.) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan Asas-asa pemerintahan yang baik / layak / patut /waajar.  Dalam kamus bahasa Inndonesia disebut bahwa pengertian baik, identik dengan patut dan layak. Baik berarti tidak ada celanya. Jadi pemerintahan yang baik ialah pemerintahan yang teratur tiada celanya ditinjau dari asas-asas pemerintahan yang baik, sehingga merupakan suatu yang ideal yang menjadi impian suati pemerintahan dan rakyatnya. Dengan demikaian, penggunaan istilah baik, labih tepat daripada istilah lainnya seperti patut, layak, atau wajar. Penggunaan iatilah tersebut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan kita, mungkin baru pertama kali digunakan dalam inpres No. 15 tahun 1983, dan itupun tidak  persis dengan istilah a.b.b.b. Inpres No. 15 tahun 1983 tersebut mengunakan istilah “ sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintah “ untuk mencapai aparatur yang bersih dan berwibawa yang berhasil guna dan berdaya guna.  Adapun istilah wajar menurut kamus Besar  Bahasa Indonesia, berarti biasa sebagaimanan danya tanpa diembel-embel yang lain.
            Bagaimana bentuk asas umum pemerintahan yang  baik itu di Indonesia, secara ressmi belum pernah dirumuskan dengan rinci dalam bentuk tertulis. Istilah Asas Umum Permerintahan yang Baik itu  masih sangat jarang sekali ditemukan. Istilah itu mungkin baru pertama ditemmukan dalam inpres No. 15 tahun 1983 dengan menggunakan istilah “sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan” untuk memcapai aparatur Negara yang bersih dan berdaya guna. Dengan demikian penggunaan Istilah Asas Umum permerintahan yang Baik tersebut belum mempunyai kekuatan hukum secara yuridis formal. Namun demikian, terlepas dari soal istilah, asas-asas itu sesungguhnya secara  materiel telah banyak berserakan diberbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Karena itu Asas umum pemerintahan yang baik tersebut tidak saja mempunyai kekuatan mengikat secara moral dan doctrinal[6], tetapi lebih dari itu Asas Umum Pemerintahan yang baik juga memppunyai kekuatan  mengikat secara Hukum, dan merupakan salah satu sumber HAN Formal maksudnya bukan hanya Undang-Undang dalam arti Formal, tetapi mencakup semua undang-undang dalam arti materiel yaitu produk hukum yang mengikat seluruh penduduk secara lansung. Undang- Undang dalam arti materiel ini sering juga disebut peraturan perundang-undangan.
            Dengan demikain setiap badan /pejabat TUN, Hakim PTUN dan seluruh penduduk terikat terhadap Asas Umum Pemerintahan yang baik yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Mengenai bentuk a.u.p.b.  itu menurut  Sjachran  Basah. Sebainya tidak tertulis dan tidak perlu dirumuskan dalam bentuk UU. Konsekuensi dari bentuk tertulis ini, berarti HAN juga mengengal bentuk sumber hukum yang tidak tertulis, sebagaimana lazim juga konvensi dalam hukum tata Negara. Persoalannya sekaarang akan sangat bergantung kepada kemampuan dan keberanian Hakim Tata Usaha Negara untuk menggali dan  menemukan a.u.p.b. itu.
            Pada waktu pembahasan Ruu No. 5 tahun 1986 tentang Pengadilan Tata usaha Negara berlansung di DPR, fraksi ABRI pernah mengusulkan agar a.u.p.b. itu dimasukkan sebagai salah satu alas an gugatan terhadap putusan badan / pejabat Tata Usaha Negara seperti termuat daalam pasal 53. Namun pemerintah menteri Kehakiman Ismail Salih memberikan jawaban sbb.
Menrut hemat kami dalam  peraktek ketatanegaraan kita maupun dalam hukum tata usaha Negara yang berlaku di Indonesia kita belum memmppunyai kreteria tetang a.b.b.b. tersebut yang berasal dari negri belanda. Pada waktu ini kita belum mempunayai tradisi administrasi yang kuat mengatur seperti di Negara-negara Eropa Kontinental. Tradisi demikian bias dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulakan noma-noram. Secara umum perinsif dari hukum tata usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur yang bersih dan berwibawa yang konkritisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkrit[7].
Jawaban pemerintah itu mungkin juga merupakan jawaban manefistasi kekhawatiran pemerintah sebagaimana hal nya terajdi di Nederland pada awal mula asa itu di introdusir. Namun demikain, jawaban pemerintah itu sekaligus memberikan alternative / kemungkinan terbukanya kesempatan untuk mengembangkan a.u.p.b. melaui yurisprudensi, sehingga terbarntuk dan berakar kua dalam tradisi Administrasi Negara kita. Atau dengan perkataan lain jawaban itu memberika persfektif baru dalam babakan sejarah hukum adminstrasi Negara kita melalui yurisrudensi oleh Hakim PTUN pada masa yang akan dating.
Karena itu untuk masa yang sekarang , secara teoritis a,u,p,b. itu sudah saatnya untuk kita gali dan kembangkan, baik atas dasar teori ilmu hukum administrasi Negara dan yurisprudensi, maupun dengan cara menggalinya dalam berbagai peraturan Perundang-undangan RI. Untuk itu salah satu alternative adalah dengan mencoba a,u,p,b, yang pernah  dirumuskan di Nederland, setelah disesuaikan dan diuji dengan pancasila, UUD 1945 dan tujuan Negara RI serta peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Kuntjoro Purbobranoto dan sjachran Basah[8].
Sebenarnya dalam yurisprudensi kita beberapa putusan hakim perdata telah sering menyebut adanya istilah-istilah seperti penyalah gunaan wewenang, tindakan mempergunakan istilah a.u.p.b untuk mencapai aparatur yang bersih dan berwibawa yang berhasil guna dan berdaya guna. Misalnya inpres no 5 tahun 1983 dirimuskan istilah “sendi-sendi Kewajaran Penyelenggaraan pemerintah”.
Kecuali itu, harapan agar a.u.p.b. dijadikan sebagai batu ujian bagi hakim tata usaha Negara juga pernah dirumuskan dalam kesimpulan lokarya mahkamah Agung tentang “ hubungan Manhkamah Agung dengan badan-badan Pengadilan Tata usaha Negara “ yang diselenggarakan di surakarta, 28-30 november 1978.
            Beberapa fungsi dan arti penting dalam kehidupan bernegara dapat disebutkan antara lain:n
1.       Bagi Administrsi Negara, bermamfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan tehadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samar, atau tidak jelas. Kecuali itu sekali gus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi Negara mempergunakan freies Ermessen/ melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.
2.      Bagi warga masyarakat, sebagai  pencari keadilan ,a.u.p.b. dapat dipergunakan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU no 5 tahun 1986.
3.      Bagi hakim PTUN, dapat dipergunakan sebagai alat nennguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan /Pj PTUN sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
4.      Kecuali itu, a.u.p.b, terssebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu Undang-undang.
Meskipun a.u.p.b. tidak tertulis ssecara formal dalam bentuk kodifikasi, tetapi ia tetap dapat dipergunakan oleh adminstrasi Negara sebagai norma hukum tidak tertulis bagi perbuatan-perbuatannya.
            Salah satu asas pokok dalam Negara demokrasi, ialah adanya wewenagn atau kekuasaan istimewa admiinistrasi Negara yang diperoleh atas dasar Undang-undang. Asas ini dinamakan asas legalitas. Asas seperti ini di prancis disebut principle de la legalite de I’ ministration. Berbeda dengan Negara polisi dimana kekuasaan dipegang oleh pegawai negri/pejabat. Dengan demikian asas ini  menghendakai bahwa tanpa peratran tertulisd, mstahil adanya wewenang administrasi Negara. Akan tetapi apabila wewenang itu dirumuskan secara sumir/samara tau tidak jelas, maka dalam hal ini teori ilmu hukum dan yurisprudensi akan tanpil menentukan batas tersebut.
            Kecuali itu UU. Dalam impelementasinya juga harus dilengkapi dengan norma-norma hukum yang tidak tertulis, misalnya teory ilmu hukum yang telah dikembangkan dilingkuangan administrasi dan yurisprudensi. Asas sepeti ini disebut Asas pemerintahan yang baik dan benar.
            Sumber HAN dapat dibedakan antara  ssumber HAN materiel dan formal[9]. Sumber hukum materiil ialah factor-faktor yang mempengaruhi isi dari aturan itu, misalnya sejarah, sosiologis atfau antropologi. Sedangkan sumber hukum formal adalah berabagai bentuk aturan hukum yang ada, yang oleh Utrech dikelompokan: UU, praktek administrasi Negara, yurispruddnsi dan doktrin (anggapan para ahli hukum).
            Adapun peraturan perundang-undangan dapat dikeloompokan dalam tiga macam[10]
1.      Peraturan perundang-undangan zaman hindia belanda, yakni yang berlaku berdasarkan pasal II Ap, UUD 1945, yakni peraturan peeraturan umum antara lain; Wet (UU) aglemene Maatsreglsvan Bestur (Amvb) oleh mahkota belanda (PP)<Ordonatie dibuat oleh GG Hindia belanda dan Volksraad, Regilings veerodenings (Rv) oleh gubernur  general tanpa volksraad.
2.      Peraturan perundang-undagnan berdasarkan UUD 1945, yakni UU, Perpu dan PP.
3.      Peraturan perundang-undangan menurut Tap MPRS No. xx tahun 1966, yakni, tap. MPR (s), UU/perpu/PP, Keppres dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Dengan demikian a.u.p.b. di Indonesia akam kita gali dari peruturan perundang-undangan tersebut diatas, sehingga diharapkan akan ditemukan a.u.p.b.
            Secara teoritis di Nederland pengelompokan macam-macam bentuk a.b.b.b. dilakukan dengan cara membedakan antara yang bersifat formal dan materiel. Bersifat formal maksudnya adalah melihat kepada asas-asas yang berkaitan dengan persiapan susubab dan motivasi pembuatan suatu Bechikking, sedang yang bersifat materiel, berhubungan dengan isi suatu beschikking.
             Apabila perbedaan di atas  dihubungkan dengan pasal 53 UU no 5 tahun 86, maka perbedaan bersifat formal maupun materiel tersebut juga ditemukn dala pasal tersebut. Bersifat formal dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat procedural, yang tidak dilkukan oleh badan/pejabat tata usaha Negara kektika mengluarkan suatu keputusan, padahal menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan maupun kebiasaan dalam prosedur beracara atau kebiasaan dalam kehidupan bernegara, prosedur itu harus dilaksanakan misalnya:
1.      Setiap orang yang akan dirugikan oleh suatu keputusan, terlebih dahulu harus diberikan kesempatan untuk membela diri.
2.      Orang yang mengeluarkan keputusan dilarang mempunyai kepentingan pribadi lansung maupun tidak lansung terhadap keputusan.
3.      Motivasi yang dijadikan sasar keputasan harus didukung fakta-faktta yang benar, sehingga motivasi menjadi singkron dengan isi keputusan dan motivasi tidak dipaksakan untuk mendukung petitum.
Sedangkan yang beersifat maerial, berhubungan dengan hal yang bersifat subtansial, dimana dimana keputusan itu seccara materiel/subtansial bertentanngan dengan peraturan perundang-undangan yang berlak. Dengan penjelasan pasal 53 contoh yang diberikan kurang relevan. Mmungkin lebih tepat apabila asas penyalahgunaan dan laranngan berbuat sewenang-wenang masuk dalam pengertian materil atau substansial ini.

Dalam menggali a.u.p.b. di Indonesia penulis dalam buku ini akan mempergunakan a.u.p.b yang dirumuskan oleh panitia de Mochy sebagai tulak ukur untuk kemudian mencoba menguji atau menggali dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dengan demikian diharapkan dapat ditemukan a.u.p.b yang beersumber dari peraturan perundang-undangan Indonesia.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu penulis rinci sebagai berikut:
Asas ini menghendaki agar Negara bertindak secara berhati-hati, bahkan mengharuskannya untuk berbuat cermat, sehingga tidak menimbulkan kerugianbagi warga masyaratkat. Timbulnya kerugian itudapat terjadi sebagai akibat perbuatan yang dilakukan oleh ppemerintah atau dapat juga timbuk karna akibat tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilaksanakannya[11].
            Asas keharusan berbuat cermat dapat ditemukan ketentuannya antara lain:
            Pasal 53 ayat (2) beserta penjelasannya yang berbunyi:
Pasal 53 (2.c)badan /Pj.TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagai dimaksud ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tiadak mengambil keputusan tersebut.
Kemudian penjelasannya menyebutkan:
            Dalam pemerintahan yang bebas/Pj. TUN yang bersangkutan bertugas:
1.      Mengumpulkan fakta yang relevan:
2.      Memepersiapkan, mengambil danmelaksanakan keputusan yang bersangkutan dengan memeperhatiakan asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan
3.      Dengan penuh eloonggaran menentukan sendiri isi, cara penysunan, dan saat mengeluarkan peraturan itu.
Untuk menguji dari segi hukum TUN itu, pengadilan akan mengujinya ;
1.      Apakah semua fakta yang relevan itu dikumpulkan untuk ikut di pertimbangkan dalam KTUN yang bersangkutan.
2.      Apakan badan /PJ. TUN yang mengeluarkan KTUN yang bersangkutan pada waktu mempersiapkan, memutuskan dan melaksanakan, telah memperthatikan asas-asas yang berlaku.
3.      Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengankeputusan yang sedang di gugat kalau hal-hal tersebut dalam pasal 1 dan 2 telah diperhatikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jelas asas ini menghedaki agar semua factor/atau fakta dankeadaan yang relevan dengan KTUN benar-benar telah dikumpulkan, dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan cermat. Hakim akan melakukan pengujian terhadap KTUN tersebut, apakah Badan/PJ. TUN telah memperhatikan asas-asas yang berlaku ketika mengeluarkan KTUN itu?
            Asas-asas dimaksud dapat berarti: asas-asas hukum yang tidak tertulus seperti kenvensi, pendapat para ahli hukum administrasi (doktrin) atau dapat juga berarti a.u.p.b yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia.
            Ketentuan agar badan/Pj. TUN dalam melakukan tugasnya bekerja dengan jujur, tertib dan cermat, ditemukan juga didalam peraturan pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin pegawai negri dimana disebutkan bahwa:
            “ setiap pegawai negri sipil Bekerja dengan jujur, tertib cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara”[12]
            Kecuali itu Dalam realitasnya para hakim juga sering membuat putusan yang memebrikan gambaran tentang suatu pemerintahan yang baik itu, misalnya tentang keharusan pemerintah untuk memmperhatikan “sikap hati-hati” yang seharusnya berlaku didalam pergaulan masyarakat.
2.       Asas kepastian Hukum.
Asas ini menghendaki adanya stabilitas hukum bagi produk-produk BTUN sehingga tidak menimbulkan citra negative terhadap BTUN yang ahirnya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap BTUN. Goyahnya asas kepastian hukum itu dapat disebab kan karna suatu KTUN dicabut kembali oleh BTUN yang mengeluarkan atau dapat karena KTUN dinyatakan berlaku surut.
Suatu  KTUN harus mengandung kepastian dan dikeluarkan tidak untuk dicabut kembali, bahkan sekalipun keputusan itu mengandung kekurangan. Karna itu pada asasnya setiap KTUN harus dianggap benar menurut hukum dan karenanya dapat dilaksanakan demi kepastian hukum selama belum dibuktikan sebaliknya hingga ahkirnya bersifat melawan Hukum oleh PTUN.
1.       Asas motivasi
Asas ini mengehendaki agarsetiap KTUN harus mempunyai alas an dan alas an itu harus jelas,  benar serta adil sehingga dapat dinialai apakah KTUN itu sebagai keputusan yang bersifat sewenang-wwenang  (pasal 53 UU No 5/ 1986). Perlunya motivasi dimasukan dalam setiap keputusan adalah untuk mengetahui alas an-alasan yang dijadikan sebagai dasar petimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dapat mempergunakan sebagai pangkal pembahasan dalam mengajukan banding terhadap putusan tersebut.
Asas motvasi ini dapat juga disebut sebagai asas keterbukaan yang akhir-akhit ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah.  
Asas ini menghedaki agar BTUN dalam menghadapi kasus atau fakta yang sama, mengambil tidakan yang sama. Asas ini memeperoleh landasan yuridis yang kuat dalam pasal 27 UUD 1945, jo Tap MPR No.II/MPR/1978 pada lampiran “naskah pedoman penghayatan dan pengamalam pancasila, khususnya dalam sila[13] “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikamt kebijaksanaan dalam  permusyawaratan dan sila keadilan bagi seluruh rakyat Indinesia. Dengan demiikain jelas bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum atau equalty before the law. Bahkan hal demikan menurut Sjachran Basah berlaku juga terhadap adminisrasi Negara sebagai subjek dalam PTUN, mmepunyai kedudukan yang sama derajatnya.  Meskipun tidkan BTUN bersifat kasuistis sebagaimana dikatakan Van VOllenhoven, akan tetfpi tindakan itu harus tetep berlandaskan pada asas kesamaan.
Dalam HAN asas ini dikenal dengan sebutan detournement de pouvair. Maksud asas ini ialah agar wewenang yang diberikan kepada BTUN dipergunakan sesuai maksud dan tujuan semula diberikannya wewenang itu. suatu tindakan disebut  penyalah gunaan wewenagn apabila perbuatan BTUN masih terletak dalam lingkungan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan tindakan yang sewenagn-wenang  apabila tindakan BTUN tersebut diluar ketentuan perundang-undangan . adapun dalam undang-undang No 5 tahun 1986 disebut dengan istilah “ penyalahgunaan wewenang”.
Pada asasnya setiap orang yang atau pegawai yang  ditangkap, ditahan diadili kernea kekelirun mengenai orangnya atau karna tidak terbukti melakukan suatu kejahatan, ia harus diberi hak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. Apabila ia dipecat dari tempat kerjanya, maka instansi tempat ia beekerja dengan kebesaran jiwanya harus menerima kembali orang yang telah diecatnya atau discoursing itu. Orang itu harus di rehabilitasi kembali nama baiknya. Bahkan instansi tersebut juga berkewajiban membayar segala kerugian-kerugian yang dialami sebagai akibat dari pemecatan itu. D Indonesia hal tersebut diatur dalam pasal 9 (1) uu no 14 tahun 1970:  tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Dalam pasal 95, 96,97 KUHP juga diatur memganai hal tersebut diatas.
Rehabilitasi ialah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan kembali haknya dan kemampuannya, kekdudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan padan tingnkat penyidikan, penuntutan ataupun peradilan karna ditangkap, ditahan, dituntut atauppun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang  atau karna kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Asas ini menghendaki agar ada keserasian dan atau keseimbangan tindakan BTUN dalam segala aspeknya.  Dalam tap MPR No. IV/MPR/1978 jo tentfang GBHN, asas-asas pembangunan nasional antara lain berbunyi:
            Asas peri kehidupan dalam keseimbangan, ialah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan, yaitu antara kepentingankeduniaan dan akhirat. Antara kepentingan materiel ddan kepentingan spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga, antara kepentingan individu dan masyarakat, antara kepenitngan prikehidupan darat, laut dan udara serta antara kepentingan nasiional dan iternasional.

            Demikian pula atas kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh seorfang pegawai negri harus diberikan tindakan atau hukum proposional oleh atasan. Untuk itu berdasarkan pasal 35 JO pasal 36 UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian akan dibentuk suatu peradilan penyelesaian sengketa kepegawaian yang merupakan peradilan tata usaha Negara. Kemudian keinginan tersebut direalisir dalam UU No 5 tahun 1986 pasal 53 Jo pasal 97 ayat (11).
Asas ini menghedaki agar dalam penyelenggaraan tugasnya BTUN  selalumengutamakan kepentingan Umum, karena Negara RI adalah Negara hukum yang dinamis yang menuntu segenap aparat pemerintah melakukankegiatan menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum. Ketentuan mengenai hal ini dapat ditemukan secara yuridis pada alinea ke empat pembukaan UUD 45 dan pasal 33 =,34 batang tubuh UUD 1945.
Asas ini menyatakan bahwa BTUN hendaknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga Negara dan pegawai negri untuk mencari kebenaran dan keadilan. Asas ini dimaksudkan sekaligus untuk memberi respon atas perlakuan dan penjelasan yang tidak menyenagkan yang dibeikan oleh BTUN. Karan itu adanya suatu instansi banding merupakan syarat mutlak bagi teralisasinya asas ini,, sehingga warga Negara dan pegawai negri akan memperoleh kesmpatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan.
9.       asas musyawarah
    Asas ini menghedaki agar hubungan antara pemerintah dan warga Negara dalam hal timbul sengketa sebagai akibat suatu keptusan BTUN yang dianggap merugikan hak- hak warga Negara, maka dalam penyelasainnya harus mengutamakan prinsif musyawarah untuk mecapai mupakat yang meliputi semangat kekeluargaan. Dan hasi musywaran tersebut harus diterima dan dilaksanakan dengan iktikad baik dan rasa tangung jawab  oleh kedua belah pihak.
            Prinsif musyawarah dan kekeluargaan ditemukan antara lain:
·         Dalam pancasila jo,Tap. MPR No. II?MPR/ 1978 pada lampiran naskah pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila” khususnya dalam sila kerakytan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan.
·         Dalam pasal 63 UU No, 5 tahun 1986 tentang adanya acara pemeriksaan persiapan. Dalam acara pesiapan ini kecuali hakim memeriksa kelengkapan gugatan, hakim juga dapat menggunakan acara ini untuk  mengupayakan musyawarah peneylesaian sengketa dengan cara damai diantara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan jawaban permerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi di DPR 20 mei 1986.











Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan sbb.
1.      Pada mula awal lahirnya a.u.p.b. ersebut adalah di Nederland, sebagai salah satu usaha untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga Negara dari sikap tindak adminstasi Negara yang merugikan. Secara fomal a.u.p.b. telah dirumuskan dan diterima dalam perundang-undangan Nederland, dan telah dipergunakan oleh hakim AND sebagai ukuran menguji sengketa yang timbul sebagai akibat tindak ADN. Meskipun s.u.p.b. itu dirimuskan diatas falsafah Negara yang berbeda dengan  Negara republic Indonesia, akan tetapi sebagai Negara yang bertipe walfare state, ia mempunyai persamaan dengan Indonesia.
2.      Setelah melalui proses pemanggilan, akhirnya beberapa dari a.u.p.b. itu juga ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia dan kesesuain dengan Falsafah Negara pancasila, UUD 45 dan tujuan Negara RI. Dengan demikian meskipun a.u.p.b. belum dirumuskan secara Formal dalam suatu bentuk undang-undang, akan tetapi a.u.p.b. itu telah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Maka baik badan /Pj PTUN maupun hakim peradilan tata usaha Negara kita dapat menjadikannya sebagai batu ujian bagi sikap tindak ADN kita. Lebih-lebih karna hal itu sesuai dengan harapan pemerintah sehingga akam menjadi tradisi yang dikembangkan lewat yurisprusensi.
3.      Meskipun a.u.p.b.itu belum pernah dirumuskan secara resmi dalam suatu bentuk undang-undang, tatapi karna a.u.p.b. itu telah tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, maka a.u.p.b. yang terdapat dan tersebar dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dapat disebut sebagai sumber HAN formal  yakni UU dalam arti materiel.





PERTANYAAN :

1.      Sebutkan macam-macam a. b.b.b. yang anda ketahui?
2.      Apakah fungsi dari a.u.p.b.?
3.      Sebutkan sember hukum a.u.p.b.?
4.      Seebutkan 5 a.b.b.b. yang telah memperoleh tampat yang layak dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi di Nederland?
5.      Sebutkan perincian a.u.p.b di Indonesia?
6.      Jelaskan apa yang dimaksud  asas kepastian hukum?
7.      Jelaskan apa yang dimaksud  asas bertindak cermat?
8.      Jelaskan apa yang dimaksud  asas penyelenggaraan kepentingan umum?
9.      Jelaskan apa yang dimasud asas musyawarah/kekeluargaan?
10.  Sebutkan istilah yang digunakan oleh pemerintah belanda tentang a.u.p.b?

JAWABAN:
1)      a. a.b.b.b yang bersifat fomal
b. a.b.b.b. yang bersifat materiel
2). fungsi a.u.p.b.
·         bagi ADN bermamfaat bagi pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat samar atau tidak jelas.
·         Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan. A.u.p.b.dapat digunaka sebagai dasar dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986.
3).sumber hukum a.u.p.b
            a. sumber hukum materil. Ialah factor-faktor yang mempengaruhi isi dari aturan itu.
            b. sumber hukum formal. Yaitu UU. Peraktek AND, yurisprudensi,dan Doktrin.
4).         a.  asas bertindak cermat
             b. asas motivasi
              c. asas kepastian hukum
              d. asas kesamaan dalam mengambil keputusan
              e. asas keadilan dan kewajaran.
5). perincian a.u.p.b di Indinesia.
1.      asas bertindak cermat
2.      asas kepastian hukum
3.      asas motivasi
4.      asas kesamaan
5.      asas larangan menyalahgunakan wewenang
6.      asas meniadakan akibat suatu putusan yang batal
7.      asas keserasian dan atau keseimbangan
8.      asas penyelenggaraan kepentingan umum
9.      asas permainan yang layak atau perlakuan yang jujur
10.  asas musyawarah dan kekeluargaan.
6).        Asas kepastian hukum yaitu asas yang menghendaki adanya stabilitas hukum bagi pruduk-produk  BTUN yang akhirnya dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadapa BTUN.
7).        Asas bertindak cermaat ialah asas yang menghendaki agar AND bertindak secara berhati-hati, bahkan mengharuskan untuk bertindak cermat seingga tidak menimbulakan kerugian bagi masyaarakat.
8).        Asas penyelengaraan kepentingan umum: asas ini menghendaki agar dalam penyelenggaraan tugasnya BTUN selalu mengutamajan kepentingan umum.
9).        Asas musyawarah ialah asas yang menghendaki agar hubungan pemerintah dengan warga Negara dalam hal timbul sengketa sebagai akibat suatu putusan BTUN yang dianggap melanggar dan merugikan hak-hak warga Negara.
10.       Dalam istilah pemerintah Nederland disebut “Algemene Benselen van beboorlijk Bestuur”(a.b.b.b). kedmudian jika diterjemahkan dalam bahasa indonsia disebut asas-asas umum pemerinthan yang baik atau (a.u.p.b.).

         












 
Daftar pustaka
Sudargo Guatama, pengertian Negara hukum, alumni, Bandung. 1973.
Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmi Politik, Gramedia,Jakarta,1988
Philippus, M.Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,Bina Ilmu, Surabaya, 1978.
Muchsan, pengantar hukum administrasi begara Indonesia,Liberty,Yogyakarta.1982.
Ismail saleh,jawaban pemerintah terhadap pandangan fraksi-fraksi di DPR atas RUN tentang PTUN, disamapaikan dalam sidang DPR, 20 Mei 1986
SF.Marbun dan Mohd. Mahfud, pokok-poko hukum administrasi Negara , Liberty, Yogyakarta, 1987.
Mohd.Mahfud, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988,hlm.122, dan suara djatmika dan Marsono, hukum kepegawaian Indonesia,djambatan,  Jakarta, 1985.

K. Wantjik Saleh, kitab Himpunan ketetapan-ketetapan  MPRS/MPR, Ghalia Indonesia, 1981.





[1]  Sudargo Guatama, pengertian Negara hukum, alumni, Bandung, 1973,  hlm.12-17 dan liahat pula Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmi Politik, Gramedia,Jakarta,1988, hlm.56-159.          
[2]  Philippus, M.Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,Bina Ilmu, Surabaya, 1978, hlm.77
[3] Muchsan, pengantar hukum administrasi begara Indonesia,Liberty,Yogyakarta.1982,hlm. 71
[4] Ismail saleh,jawaban pemerintah terhadap pandangan fraksi-fraksi di DPR atas RUN tentang PTUN, disamapaikan dalam sidang DPR, 20 Mei 1986.
[5] Muchsan, op.cit, hlm. 74-89
[6] SF.Marbun dan Mohd. Mahfud, pokok-poko hukum administrasi Negara , Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 57-67
[7] Ismail Saleh, op.cit.
[8] Sjahran Basah, idem, memberikan contoh putusan MA. No. 1631.K/Sip/1974 tanggal 5 nov. 1975 dalam perkara saritan harahap (p) lawan yayasan perumahan Pulo Mas dari pemerintah Ri.c/q.Gub. DKI Jakarta.
[9] Utrech, pengantar hukum tata usaha Negara Indonesia, N.V.,Balai Buku Indonesia, Jakarta,1957,hlm.45.
[10] SF,Marbun dan Mohd. Mahfud, op.cit, hlm.21-40.
[11] SF.Marbun, op.cit, hlm.
[12] Mohd.Mahfud, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988,hlm.122, dan suara djatmika dan Marsono, hukum kepegawaian Indonesia,djambatan,  Jakarta, 1985,hlm. 120.
[13] K. Wantjik Saleh, kitab Himpunan ketetapan-ketetapan  MPRS/MPR, Ghalia Indonesia, 1981, hlm.355

Tidak ada komentar:

Posting Komentar