Pada saat konsef rechtaat atau rule of law diintrodusir pada abad ke-19 dan permulaan
abad ke-20, suasa ketika itu sangat di
domonasi gagasan bahwa Negara dan pemeerintahan tidak campur tangan dalam
urusan kehidupan warga Negaranya, kecuali berkaitan dengankepentingan umum
seperti perang dan hubungan luar negeri. Negera hanya dianggap sebagai
nachwachterstaat atau Negara penjaga malam[1].
Gagasan ini sesuai dengan faham ekonomi liberal yang berlaku pada waktu itu
yang dikuasai dalil laisez faire, laissez aller, artinya jika setiap orang diberikan
kebebasan mengurus ekonominya masing-masing, maka dengan sendirinya Ekonomi
negra akan sehat. Urusan Ekonomi terlepas campur tangan Negara.
Akibat faham liberalism pada tahun
1930 muncul krisis dibidagng Ekonomi Negara-negara didunia. Untuk mengatasi
situasi ini butuh bantuan Negara. Akibatnya, campur tangan Negara mulai masuk
merasuki kehidupan masyarakat. Teori Negara kesejahteraan atau Negara tipe walfare state mulai berkembang dengan pesat.
Konsekoensi yuridis dari itu, fungsi
hokum administrasi Negara berkembang pula dengan pesat dan sentuhan hukum
administrasi Negara terhadap perkembangan politik menemukan aktualisasinya.
Sebenarnya istilah Negara
kesejahteraan atau welfare state disebut juga socialist Legality atau sociale rechtaat[2]
atau rule of law atau rechtaat. Akan tetapi corak dan sifatnya. berbeda dengan
rule of law atau rechtaat sebagaimana diintrodusir oleh Immanuel kent dan
ficte, karena itu Negara kesejahteraan disebut sebagai “Negara Hukum modern”.
Dalam hukum modern tugas Negara
tidak hanya terletak pada pelaksanaan Hukum, tetapi juga mencapai keadilan
social (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat[3].
Untuk mencapai tujuan itu administrasi Negara memerlukan kemerdekan/kebebasan
dalam melaksanakan fungsinya. Namun demikiian administrasi Negara pada
perinsifnya harus tetfap berpegang pada asa legalitas sebagai salahsatu asas
Negara hukum ssehingga tidak bertindaj sewenagng-wenang.
Dengan dibrikannya kebebasan
bertindak kepada adminstrasi Negara ternyata dalam praktek selama ini sering
menimbulkan kerugian bagi waarga masyarakat, laebih-lebih dalam hal keadaan
mendesak dimana administrasi Negara harus mengambil tindakan, sedangkan
peraturan hukum secara tertulis belum mengaturnya. Karna itu lah di Nederland
pada tahun 1950 panitia mochy membuat laporan tentang asas-asas umum
pemerintahan yang baik untuk melindungi warga Negara dari tindakan adminstrasi
Negara yang sewenang-wenang.
Indonesia ialah Negara yang
berdasarkan aatas hukum (rechtaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtaat), artinya Indonesia mengakuai dan menganut paham kedaulatan hukum.
Menurut ajaran kedaulatan Krabe, kekuasaan tertiinggi tidak terletak pada
kehendak pribadi raja, melaikan pada hukum. Jadi kekuasaan hukum terletak
diatas segala kekuasaan yang ada dalam Negara dan segala kekuasaan harus tunduk
pada hukum.
Kecuali itu Indonesia juga Negara
demokrasi yang menganut faham kedaulaatan rakyat. Antara faham kedaulatan hukum
dan faham kedaulatan rakyat harus tetap seiring dan sejalan, sehingga
mewujudkan duet integral secara harmonis berdasarkan prinsif monodualisme.
Sebagai Negara hukum yang
berorientasi pada Negara kesejahteraan, intensitas canpur tangan Negara dalam
kehidupan masyarakat semakin berkembang, sehingga peranan HAN semakin dominan
dan penting. Karena itu Administrasi Negara memerlukan kemerdekaan/ kebabasan
dalam melaksanakan fungsinya. Dalam hal demikian, kebutuhan terhadap
perlindungan hukumpun semakin diperlukan. Perlindungan hukum itu tidak saja dibutuhkan
oleh warga Negara untuk melindungi dirinya sendiri dari sikap tindak
administrasi Negara tetapi juga oleh administrasi Negara untuk melaksanakan
tugasnya.
Berkaitan dengan perlindungan hukum
tersebut, ditemukan landasan hukumnya
pada pasal 53 ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 yang pada pokoknya berfungsi untuk
melakukan control terhadap sikap tindak administrasi Negara, memberikan
perlindungan hukum terhadap warga dan juga memberikan perlindungan terhadap
administrasi Negara.
Untuk memberikan perlindungan hukum
itu, diperlukan perangkat hukum sebagai tolak ukurnya. Hukum yang dimaksud
ialah ketentuan-ketentuan peraaturan-peraturan perundang-undangan tertulis
maupun tidak tertulis, asas-asas umum pemerintahan yang baik akan sangat besar
artinya dijadikan sebagai tolok ukur. Karnanya a.u.p.b. itu harus digali dan
dditemukan dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia
yang bersumber dan sesuai dengan UUD 1945 dan pancasila, hukum benar-benar
dijadikan supreme.
Dalam rangka mengali dan menemukan
a.u.p.b. itu, oleh pemerintah ketika memebrikan jawaban terhadap pamandangan
umum praksi-praksi di DPR atas RUU PTUN, 20 mei 1986, mengatakann bahwa
a.u.p.b. itu dapat dikembangkan melalui jurisprudensi lewat kasus-kasus
konkrit, sehingga akan menimbulakan norma-norma baru dalam lapangan HAN[4].
Tugan untuk menggali dan menemukan
asas-asas tersebut dibebankan pada hukum peradilan tata usaha Negara, sehingga
tugas hakitm tata Negara semakin berat, karna itu ia tidak saja bertugan
menerima, memeriksa dan mengadili seerta menyelesaikan suatu perkara yang
diajukan padanya.tidak saja mengkonstrastratirbenar tidaknya peristiwa yang
diajukan, tetapi lebiih dari itu, ia harus mengadili, menyelesaikannya dan
menemukan hukumnya.
Menggali dan menemukan hukum bukanlah
hal yang sangat mudah dan sederhana. Menggali dan menemukan hukum tidak sekedar
mencari undang-undangnya agar dapat diterfpakan pada peristiwa konkrit. Hakim
pertama-tama harus mengarahkan pristiwa-peristiwa konkrit itu pada undang-undagnnya,dan
sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkrit. Dengan
demikian, hakim harus menemukan a.u.p.b.
itu dari falsapah Negara, konstitusi, tujuan Negara dan kaidah-kaidah yang hidup
dalam masyarakat Indonesia.
Dengan diberikannya kebebasan
bertindak kepada administrasi Negara dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan walfre state atau social rechtaat dibelanda, timbul kekhawtiran akibat dari freise
Ermesen akan menimbulakan kerugian bagi warga masyarakat. Karna itu untuk
meningkatkan perlindungan hukum bagi masyarakat, tahun 1950 panitia de Mochy di Nederland membuat laporan
tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik (a.u.p.b.) jadi lahirnya istilah
asas umum pemerintfahan yang baik ini dapat ditunjuk pada pelaporan panitia de Mochy.
Pada mulanya timbul keberatan
terhadap konsef de Mochy tersebut, terutama dari pejabat-pejabat dan
pegawai-pegawai pemerintah Nederland, karena da kekhawatiran bahwa hakim dan
pengadilan adminstrasi kelak akan mempergukan istilah itu untuk memberikan
penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah. Namun keberatan demikan sekarang ini telah
lenyap ditelan masa karena telah kehilangan relevansinya. Freise Ermessen tetap dapat dilaksanakan
pemerintah dalam melakuan funsinya. Bahkan untuk masa sekarang ini asas-asas
umum pemerinthan yang baik itu telah diterima dan telah dimuat dalam berbagai
Undang-Undagn di Nederland serta yurisprudensinya. Misalnya pasal 8 Wet AROB
menegaskan agar hakim melakukan pengujian, demikian juaga undang-Undang
pengadilan administrasi organisasi perusahaan (art 5) dan UU Umum mengenai
pajak Negara (arat 27).
Meskipun usul panitia de Mochy
tentang a.b.b.b. itu tidak diterima seluruhnya dalam system legislasi di
Nederland, tetapi ajaran itu kemudian dikembangkan oleh teori ilmu hukum dan jurisprudensi
baik di lingkungan administrasi Negara maupun oleh putusan-putusan pengadilan.
Berbagai asas yang telah memperoleh tempat layak dalam perundang-Undangan dan
jurispprudensi di Nederland itu, kemudian secara umum dikelompokan menjadi dua
katagori, yakni a.b.b.b. yang bersifa fomal dan materil. Melakukan
pengelompokan atas dasdr formal dan materiel itu secara tajam, dalam hal-hal
tertentu bias dianggap kurang relevan, karna dalam pembetukan suatu beschikking , kedua sifat formal dan
materiel itu selalu membaur.tatapi apabila digunakan untuk melakuan pengujain
terhadap suatu beschikking maka pembedaan sifat formal dan materiel itu justru
sangat relevan, karna dengan demikian akan mempermudah melakukan pengujian
terhadap suatu beschikking yang sedang
disengketakan.
Beberapa a.b.b.b. yang telah
memperoleh tempat yang latak dalam peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi di Nederland dan dikembangkan oleh teori ilmu hukum, antara lain[5]:
1. Asa
bertindak cermat
2. Asas
motivasi
3. Asas
kepastian hukum.
4. Asas
kesamaan dalam mengambil keputusan
5. Asas
meniadakan akibat-akibat sauatu putusan yang batal
6. Asas
meanggapi penghargaan yang wajar
7. Asas
kebijak sanaan
8. Asas
jangan mempercampuradukan kewenagan.
9. Asas
keadilan dan kewajaran
10. Asas
penyelengaraan kepentingan umum.
11. Asa
keseimbangan.
12. Asas
permainan yang layak.
13. Asas
perlindungan atas pandangan hidup (cara) hidup pribadi.
Diatas
telah dinyatakan bahwa dirumuskan asas-asas tersebut berpangkal pada teri-teoti
hukum umumnya dan yurisprudensi sserta norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Karna itu apabila asas-asas tersebut akam digali dalam tata hukum Indinesia, maka asas-asas itupun
teidak boleh terlepas dari teori Ilmu hukum, yurisprudensi dan norma-noram yang
hidup dalam masyarakat Indoonesia serta dasar falsafah pancasila, UUD 1945 dan
tujuan Negara Republik Indonesia.
Penggunaan istilah (nomenklatur)
atau termenologis gebruik dalam membahas suatu objek kajian adalah penting,
terutama untuk memberikan batasan
terhadap objek yang sedang dibahas itu. Istilah Algemene Beginselen van
Beboorlijke Bestur (a.b.b.b.) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan Asas-asa
pemerintahan yang baik / layak / patut /waajar.
Dalam kamus bahasa Inndonesia disebut bahwa pengertian baik, identik
dengan patut dan layak. Baik berarti tidak ada celanya. Jadi pemerintahan yang
baik ialah pemerintahan yang teratur tiada celanya ditinjau dari asas-asas
pemerintahan yang baik, sehingga merupakan suatu yang ideal yang menjadi impian
suati pemerintahan dan rakyatnya. Dengan demikaian, penggunaan istilah baik,
labih tepat daripada istilah lainnya seperti patut, layak, atau wajar.
Penggunaan iatilah tersebut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan kita,
mungkin baru pertama kali digunakan dalam inpres No. 15 tahun 1983, dan itupun
tidak persis dengan istilah a.b.b.b.
Inpres No. 15 tahun 1983 tersebut mengunakan istilah “ sendi-sendi kewajaran
penyelenggaraan pemerintah “ untuk mencapai aparatur yang bersih dan berwibawa
yang berhasil guna dan berdaya guna.
Adapun istilah wajar menurut kamus Besar
Bahasa Indonesia, berarti biasa sebagaimanan danya tanpa diembel-embel
yang lain.
Bagaimana bentuk asas umum
pemerintahan yang baik itu di Indonesia,
secara ressmi belum pernah dirumuskan dengan rinci dalam bentuk tertulis.
Istilah Asas Umum Permerintahan yang Baik itu
masih sangat jarang sekali ditemukan. Istilah itu mungkin baru pertama
ditemmukan dalam inpres No. 15 tahun 1983 dengan menggunakan istilah
“sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan” untuk memcapai aparatur
Negara yang bersih dan berdaya guna. Dengan demikian penggunaan Istilah Asas
Umum permerintahan yang Baik tersebut belum mempunyai kekuatan hukum secara
yuridis formal. Namun demikian, terlepas dari soal istilah, asas-asas itu
sesungguhnya secara materiel telah
banyak berserakan diberbagai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.
Karena itu Asas umum pemerintahan yang baik tersebut tidak saja mempunyai kekuatan
mengikat secara moral dan doctrinal[6],
tetapi lebih dari itu Asas Umum Pemerintahan yang baik juga memppunyai
kekuatan mengikat secara Hukum, dan
merupakan salah satu sumber HAN Formal maksudnya bukan hanya Undang-Undang
dalam arti Formal, tetapi mencakup semua undang-undang dalam arti materiel
yaitu produk hukum yang mengikat seluruh penduduk secara lansung. Undang-
Undang dalam arti materiel ini sering juga disebut peraturan
perundang-undangan.
Dengan demikain setiap badan
/pejabat TUN, Hakim PTUN dan seluruh penduduk terikat terhadap Asas Umum
Pemerintahan yang baik yang tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan Indonesia. Mengenai bentuk a.u.p.b. itu menurut
Sjachran Basah. Sebainya tidak
tertulis dan tidak perlu dirumuskan dalam bentuk UU. Konsekuensi dari bentuk
tertulis ini, berarti HAN juga mengengal bentuk sumber hukum yang tidak
tertulis, sebagaimana lazim juga konvensi dalam hukum tata Negara. Persoalannya
sekaarang akan sangat bergantung kepada kemampuan dan keberanian Hakim Tata
Usaha Negara untuk menggali dan menemukan
a.u.p.b. itu.
Pada waktu pembahasan Ruu No. 5
tahun 1986 tentang Pengadilan Tata usaha Negara berlansung di DPR, fraksi ABRI
pernah mengusulkan agar a.u.p.b. itu dimasukkan sebagai salah satu alas an
gugatan terhadap putusan badan / pejabat Tata Usaha Negara seperti termuat
daalam pasal 53. Namun pemerintah menteri Kehakiman Ismail Salih memberikan
jawaban sbb.
Menrut hemat kami dalam peraktek ketatanegaraan kita maupun dalam
hukum tata usaha Negara yang berlaku di Indonesia kita belum memmppunyai
kreteria tetang a.b.b.b. tersebut yang berasal dari negri belanda. Pada waktu
ini kita belum mempunayai tradisi administrasi yang kuat mengatur seperti di
Negara-negara Eropa Kontinental. Tradisi demikian bias dikembangkan melalui
yurisprudensi yang kemudian akan menimbulakan noma-noram. Secara umum perinsif
dari hukum tata usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur yang bersih
dan berwibawa yang konkritisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas
sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkrit[7].
Jawaban pemerintah itu mungkin juga
merupakan jawaban manefistasi kekhawatiran pemerintah sebagaimana hal nya
terajdi di Nederland pada awal mula asa itu di introdusir. Namun demikain,
jawaban pemerintah itu sekaligus memberikan alternative / kemungkinan
terbukanya kesempatan untuk mengembangkan a.u.p.b. melaui yurisprudensi,
sehingga terbarntuk dan berakar kua dalam tradisi Administrasi Negara kita.
Atau dengan perkataan lain jawaban itu memberika persfektif baru dalam babakan
sejarah hukum adminstrasi Negara kita melalui yurisrudensi oleh Hakim PTUN pada
masa yang akan dating.
Karena itu untuk masa yang sekarang ,
secara teoritis a,u,p,b. itu sudah saatnya untuk kita gali dan kembangkan, baik
atas dasar teori ilmu hukum administrasi Negara dan yurisprudensi, maupun
dengan cara menggalinya dalam berbagai peraturan Perundang-undangan RI. Untuk
itu salah satu alternative adalah dengan mencoba a,u,p,b, yang pernah dirumuskan di Nederland, setelah disesuaikan
dan diuji dengan pancasila, UUD 1945 dan tujuan Negara RI serta peraturan
perundang-undangan Indonesia yang berlaku, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Kuntjoro Purbobranoto dan sjachran Basah[8].
Sebenarnya
dalam
yurisprudensi kita beberapa putusan hakim perdata telah sering menyebut adanya
istilah-istilah seperti penyalah gunaan wewenang, tindakan mempergunakan
istilah a.u.p.b untuk mencapai aparatur yang bersih dan berwibawa yang berhasil
guna dan berdaya guna. Misalnya inpres no 5 tahun 1983 dirimuskan istilah
“sendi-sendi Kewajaran Penyelenggaraan pemerintah”.
Kecuali itu, harapan agar a.u.p.b. dijadikan sebagai batu ujian
bagi hakim tata usaha Negara juga pernah dirumuskan dalam kesimpulan lokarya
mahkamah Agung tentang “ hubungan Manhkamah Agung dengan badan-badan Pengadilan
Tata usaha Negara “ yang diselenggarakan di surakarta, 28-30 november 1978.
Beberapa
fungsi dan arti penting dalam kehidupan bernegara dapat disebutkan antara
lain:n
1.
Bagi
Administrsi Negara, bermamfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan
penerapan tehadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat sumir,
samar, atau tidak jelas. Kecuali itu sekali gus membatasi dan menghindari
kemungkinan administrasi Negara mempergunakan freies Ermessen/ melakukan
kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.
2.
Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan ,a.u.p.b. dapat dipergunakan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU no 5 tahun 1986.
3.
Bagi hakim PTUN, dapat dipergunakan
sebagai alat nennguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan /Pj PTUN
sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
4.
Kecuali itu, a.u.p.b, terssebut
juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu Undang-undang.
Meskipun a.u.p.b. tidak tertulis ssecara formal
dalam bentuk kodifikasi, tetapi ia tetap dapat dipergunakan oleh adminstrasi
Negara sebagai norma hukum tidak tertulis bagi perbuatan-perbuatannya.
Salah satu asas pokok dalam Negara
demokrasi, ialah adanya wewenagn atau kekuasaan istimewa admiinistrasi Negara
yang diperoleh atas dasar Undang-undang. Asas ini dinamakan asas legalitas. Asas
seperti ini di prancis disebut principle
de la legalite de I’ ministration. Berbeda dengan Negara polisi dimana
kekuasaan dipegang oleh pegawai negri/pejabat. Dengan demikian asas ini menghendakai bahwa tanpa peratran tertulisd,
mstahil adanya wewenang administrasi Negara. Akan tetapi apabila wewenang itu
dirumuskan secara sumir/samara tau tidak jelas, maka dalam hal ini teori ilmu
hukum dan yurisprudensi akan tanpil menentukan batas tersebut.
Kecuali itu UU. Dalam
impelementasinya juga harus dilengkapi dengan norma-norma hukum yang tidak
tertulis, misalnya teory ilmu hukum yang telah dikembangkan dilingkuangan
administrasi dan yurisprudensi. Asas sepeti ini disebut Asas pemerintahan yang
baik dan benar.
Sumber HAN dapat dibedakan
antara ssumber HAN materiel dan formal[9].
Sumber hukum materiil ialah factor-faktor yang mempengaruhi isi dari aturan
itu, misalnya sejarah, sosiologis atfau antropologi. Sedangkan sumber hukum
formal adalah berabagai bentuk aturan hukum yang ada, yang oleh Utrech
dikelompokan: UU, praktek administrasi Negara, yurispruddnsi dan doktrin
(anggapan para ahli hukum).
Adapun peraturan perundang-undangan
dapat dikeloompokan dalam tiga macam[10]
1. Peraturan
perundang-undangan zaman hindia belanda, yakni yang berlaku berdasarkan pasal
II Ap, UUD 1945, yakni peraturan peeraturan umum antara lain; Wet (UU) aglemene Maatsreglsvan Bestur (Amvb)
oleh mahkota belanda (PP)<Ordonatie dibuat
oleh GG Hindia belanda dan Volksraad, Regilings
veerodenings (Rv) oleh gubernur general tanpa volksraad.
2. Peraturan
perundang-undagnan berdasarkan UUD 1945, yakni UU, Perpu dan PP.
3. Peraturan
perundang-undangan menurut Tap MPRS No. xx tahun 1966, yakni, tap. MPR (s),
UU/perpu/PP, Keppres dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Dengan demikian a.u.p.b. di
Indonesia akam kita gali dari peruturan perundang-undangan tersebut diatas,
sehingga diharapkan akan ditemukan a.u.p.b.
Secara teoritis di Nederland
pengelompokan macam-macam bentuk a.b.b.b. dilakukan dengan cara membedakan
antara yang bersifat formal dan materiel. Bersifat formal maksudnya adalah
melihat kepada asas-asas yang berkaitan dengan persiapan susubab dan motivasi
pembuatan suatu Bechikking, sedang
yang bersifat materiel, berhubungan dengan isi suatu beschikking.
Apabila perbedaan di atas dihubungkan dengan pasal 53 UU no 5 tahun 86,
maka perbedaan bersifat formal maupun materiel tersebut juga ditemukn dala
pasal tersebut. Bersifat formal dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
procedural, yang tidak dilkukan oleh badan/pejabat tata usaha Negara kektika
mengluarkan suatu keputusan, padahal menurut ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan maupun kebiasaan dalam prosedur beracara atau
kebiasaan dalam kehidupan bernegara, prosedur itu harus dilaksanakan misalnya:
1. Setiap
orang yang akan dirugikan oleh suatu keputusan, terlebih dahulu harus diberikan
kesempatan untuk membela diri.
2. Orang
yang mengeluarkan keputusan dilarang mempunyai kepentingan pribadi lansung
maupun tidak lansung terhadap keputusan.
3. Motivasi
yang dijadikan sasar keputasan harus didukung fakta-faktta yang benar, sehingga
motivasi menjadi singkron dengan isi keputusan dan motivasi tidak dipaksakan
untuk mendukung petitum.
Sedangkan yang
beersifat maerial, berhubungan dengan hal yang bersifat subtansial, dimana
dimana keputusan itu seccara materiel/subtansial bertentanngan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlak. Dengan penjelasan pasal 53 contoh yang diberikan
kurang relevan. Mmungkin lebih tepat apabila asas penyalahgunaan dan laranngan
berbuat sewenang-wenang masuk dalam pengertian materil atau substansial ini.
Dalam menggali a.u.p.b. di Indonesia
penulis dalam buku ini akan mempergunakan a.u.p.b yang dirumuskan oleh panitia
de Mochy sebagai tulak ukur untuk kemudian mencoba menguji atau menggali dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia. Dengan demikian diharapkan dapat
ditemukan a.u.p.b yang beersumber dari peraturan perundang-undangan Indonesia.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik
itu penulis rinci sebagai berikut:
Asas ini menghendaki agar Negara
bertindak secara berhati-hati, bahkan mengharuskannya untuk berbuat cermat,
sehingga tidak menimbulkan kerugianbagi warga masyaratkat. Timbulnya kerugian
itudapat terjadi sebagai akibat perbuatan yang dilakukan oleh ppemerintah atau
dapat juga timbuk karna akibat tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya
dilaksanakannya[11].
Asas keharusan berbuat cermat dapat ditemukan
ketentuannya antara lain:
Pasal 53 ayat (2) beserta penjelasannya yang berbunyi:
Pasal 53 (2.c)badan /Pj.TUN pada waktu mengeluarkan
atau tidak mengeluarkan keputusan sebagai dimaksud ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tiadak mengambil keputusan
tersebut.
Kemudian
penjelasannya menyebutkan:
Dalam pemerintahan yang bebas/Pj.
TUN yang bersangkutan bertugas:
1. Mengumpulkan
fakta yang relevan:
2. Memepersiapkan,
mengambil danmelaksanakan keputusan yang bersangkutan dengan memeperhatiakan
asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan
3. Dengan
penuh eloonggaran menentukan sendiri isi, cara penysunan, dan saat mengeluarkan
peraturan itu.
Untuk
menguji dari segi hukum TUN itu, pengadilan akan mengujinya ;
1. Apakah
semua fakta yang relevan itu dikumpulkan untuk ikut di pertimbangkan dalam KTUN
yang bersangkutan.
2. Apakan
badan /PJ. TUN yang mengeluarkan KTUN yang bersangkutan pada waktu mempersiapkan,
memutuskan dan melaksanakan, telah memperthatikan asas-asas yang berlaku.
3. Apakah
keputusan yang diambil juga akan sama dengankeputusan yang sedang di gugat
kalau hal-hal tersebut dalam pasal 1 dan 2 telah diperhatikan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa jelas asas ini menghedaki agar semua
factor/atau fakta dankeadaan yang relevan dengan KTUN benar-benar telah
dikumpulkan, dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan cermat. Hakim akan
melakukan pengujian terhadap KTUN tersebut, apakah Badan/PJ. TUN telah
memperhatikan asas-asas yang berlaku ketika mengeluarkan KTUN itu?
Asas-asas dimaksud dapat berarti:
asas-asas hukum yang tidak tertulus seperti kenvensi, pendapat para ahli hukum
administrasi (doktrin) atau dapat juga berarti a.u.p.b yang tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia.
Ketentuan agar badan/Pj. TUN dalam
melakukan tugasnya bekerja dengan jujur, tertib dan cermat, ditemukan juga
didalam peraturan pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin
pegawai negri dimana disebutkan bahwa:
“ setiap pegawai negri sipil Bekerja dengan jujur, tertib
cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara”[12]
Kecuali itu Dalam realitasnya para
hakim juga sering membuat putusan yang memebrikan gambaran tentang suatu
pemerintahan yang baik itu, misalnya tentang keharusan pemerintah untuk
memmperhatikan “sikap hati-hati” yang seharusnya berlaku didalam pergaulan
masyarakat.
Asas
ini menghendaki adanya stabilitas hukum bagi produk-produk BTUN sehingga tidak
menimbulkan citra negative terhadap BTUN yang ahirnya dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap BTUN. Goyahnya asas kepastian hukum itu dapat
disebab kan karna suatu KTUN dicabut kembali oleh BTUN yang mengeluarkan atau
dapat karena KTUN dinyatakan berlaku surut.
Suatu
KTUN harus mengandung kepastian dan
dikeluarkan tidak untuk dicabut kembali, bahkan sekalipun keputusan itu
mengandung kekurangan. Karna itu pada asasnya setiap KTUN harus dianggap benar
menurut hukum dan karenanya dapat dilaksanakan demi kepastian hukum selama
belum dibuktikan sebaliknya hingga ahkirnya bersifat melawan Hukum oleh PTUN.
1. Asas motivasi
Asas
ini mengehendaki agarsetiap KTUN harus mempunyai alas an dan alas an itu harus
jelas, benar serta adil sehingga dapat
dinialai apakah KTUN itu sebagai keputusan yang bersifat sewenang-wwenang (pasal 53 UU No 5/ 1986). Perlunya motivasi
dimasukan dalam setiap keputusan adalah untuk mengetahui alas an-alasan yang
dijadikan sebagai dasar petimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dapat mempergunakan
sebagai pangkal pembahasan dalam mengajukan banding terhadap putusan tersebut.
Asas
motvasi ini dapat juga disebut sebagai asas keterbukaan yang akhir-akhit ini
sedang giat dikembangkan oleh pemerintah.
Asas
ini menghedaki agar BTUN dalam menghadapi kasus atau fakta yang sama, mengambil
tidakan yang sama. Asas ini memeperoleh landasan yuridis yang kuat dalam pasal
27 UUD 1945, jo Tap MPR No.II/MPR/1978 pada lampiran “naskah pedoman
penghayatan dan pengamalam pancasila, khususnya dalam sila[13]
“kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikamt
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
sila keadilan bagi seluruh rakyat Indinesia. Dengan demiikain jelas bahwa
setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum atau equalty before the
law. Bahkan hal demikan menurut Sjachran Basah berlaku juga terhadap
adminisrasi Negara sebagai subjek dalam PTUN, mmepunyai kedudukan yang sama
derajatnya. Meskipun tidkan BTUN
bersifat kasuistis sebagaimana dikatakan Van VOllenhoven, akan tetfpi tindakan
itu harus tetep berlandaskan pada asas kesamaan.
Dalam
HAN asas ini dikenal dengan sebutan detournement
de pouvair. Maksud asas ini ialah agar wewenang yang diberikan kepada BTUN
dipergunakan sesuai maksud dan tujuan semula diberikannya wewenang itu. suatu
tindakan disebut penyalah gunaan
wewenagn apabila perbuatan BTUN masih terletak dalam lingkungan ketentuan
perundang-undangan. Sedangkan tindakan yang sewenagn-wenang apabila tindakan BTUN tersebut diluar
ketentuan perundang-undangan . adapun dalam undang-undang No 5 tahun 1986
disebut dengan istilah “ penyalahgunaan wewenang”.
Pada
asasnya setiap orang yang atau pegawai yang
ditangkap, ditahan diadili kernea kekelirun mengenai orangnya atau karna
tidak terbukti melakukan suatu kejahatan, ia harus diberi hak untuk menuntut
ganti rugi dan rehabilitasi. Apabila ia dipecat dari tempat kerjanya, maka
instansi tempat ia beekerja dengan kebesaran jiwanya harus menerima kembali
orang yang telah diecatnya atau discoursing itu. Orang itu harus di
rehabilitasi kembali nama baiknya. Bahkan instansi tersebut juga berkewajiban
membayar segala kerugian-kerugian yang dialami sebagai akibat dari pemecatan
itu. D Indonesia hal tersebut diatur dalam pasal 9 (1) uu no 14 tahun
1970: tentang ganti kerugian dan
rehabilitasi. Dalam pasal 95, 96,97 KUHP juga diatur memganai hal tersebut
diatas.
Rehabilitasi ialah hak seseorang untuk
mendapatkan pemulihan kembali haknya dan kemampuannya, kekdudukan dan harkat
serta martabatnya yang diberikan padan tingnkat penyidikan, penuntutan ataupun
peradilan karna ditangkap, ditahan, dituntut atauppun diadili tanpa alas an
yang berdasarkan undang-undang atau
karna kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Asas
ini menghendaki agar ada keserasian dan atau keseimbangan tindakan BTUN dalam
segala aspeknya. Dalam tap MPR No.
IV/MPR/1978 jo tentfang GBHN, asas-asas pembangunan nasional antara lain
berbunyi:
Asas peri kehidupan dalam
keseimbangan, ialah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan, yaitu antara
kepentingankeduniaan dan akhirat. Antara kepentingan materiel ddan kepentingan
spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga, antara kepentingan individu dan
masyarakat, antara kepenitngan prikehidupan darat, laut dan udara serta antara
kepentingan nasiional dan iternasional.
Demikian pula atas kelalaian atau
kesalahan yang dilakukan oleh seorfang pegawai negri harus diberikan tindakan
atau hukum proposional oleh atasan. Untuk itu berdasarkan pasal 35 JO pasal 36
UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian akan dibentuk suatu
peradilan penyelesaian sengketa kepegawaian yang merupakan peradilan tata usaha
Negara. Kemudian keinginan tersebut direalisir dalam UU No 5 tahun 1986 pasal
53 Jo pasal 97 ayat (11).
Asas
ini menghedaki agar dalam penyelenggaraan tugasnya BTUN selalumengutamakan kepentingan Umum, karena
Negara RI adalah Negara hukum yang dinamis yang menuntu segenap aparat
pemerintah melakukankegiatan menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum. Ketentuan
mengenai hal ini dapat ditemukan secara yuridis pada alinea ke empat pembukaan
UUD 45 dan pasal 33 =,34 batang tubuh UUD 1945.
Asas
ini menyatakan bahwa BTUN hendaknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada warga Negara dan pegawai negri untuk mencari kebenaran dan keadilan.
Asas ini dimaksudkan sekaligus untuk memberi respon atas perlakuan dan
penjelasan yang tidak menyenagkan yang dibeikan oleh BTUN. Karan itu adanya
suatu instansi banding merupakan syarat mutlak bagi teralisasinya asas ini,,
sehingga warga Negara dan pegawai negri akan memperoleh kesmpatan yang
seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan.
Asas ini menghedaki agar hubungan antara
pemerintah dan warga Negara dalam hal timbul sengketa sebagai akibat suatu
keptusan BTUN yang dianggap merugikan hak- hak warga Negara, maka dalam
penyelasainnya harus mengutamakan prinsif musyawarah untuk mecapai mupakat yang
meliputi semangat kekeluargaan. Dan hasi musywaran tersebut harus diterima dan
dilaksanakan dengan iktikad baik dan rasa tangung jawab oleh kedua belah pihak.
Prinsif musyawarah dan kekeluargaan
ditemukan antara lain:
·
Dalam pancasila jo,Tap. MPR No. II?MPR/
1978 pada lampiran naskah pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila”
khususnya dalam sila kerakytan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan.
·
Dalam pasal 63 UU No, 5 tahun 1986
tentang adanya acara pemeriksaan persiapan. Dalam acara pesiapan ini kecuali
hakim memeriksa kelengkapan gugatan, hakim juga dapat menggunakan acara ini
untuk mengupayakan musyawarah
peneylesaian sengketa dengan cara damai diantara kedua belah pihak. Hal ini
sesuai dengan jawaban permerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi di
DPR 20 mei 1986.
Berdasarkan uraian tersebut diatas
dapat ditarik kesimpulan sbb.
1. Pada
mula awal lahirnya a.u.p.b. ersebut adalah di Nederland, sebagai salah satu
usaha untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga Negara dari sikap tindak
adminstasi Negara yang merugikan. Secara fomal a.u.p.b. telah dirumuskan dan
diterima dalam perundang-undangan Nederland, dan telah dipergunakan oleh hakim
AND sebagai ukuran menguji sengketa yang timbul sebagai akibat tindak ADN.
Meskipun s.u.p.b. itu dirimuskan diatas falsafah Negara yang berbeda
dengan Negara republic Indonesia, akan
tetapi sebagai Negara yang bertipe walfare state, ia mempunyai persamaan dengan
Indonesia.
2. Setelah
melalui proses pemanggilan, akhirnya beberapa dari a.u.p.b. itu juga ditemukan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia dan kesesuain dengan
Falsafah Negara pancasila, UUD 45 dan tujuan Negara RI. Dengan demikian
meskipun a.u.p.b. belum dirumuskan secara Formal dalam suatu bentuk
undang-undang, akan tetapi a.u.p.b. itu telah banyak tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan Indonesia. Maka baik badan /Pj PTUN maupun hakim
peradilan tata usaha Negara kita dapat menjadikannya sebagai batu ujian bagi
sikap tindak ADN kita. Lebih-lebih karna hal itu sesuai dengan harapan
pemerintah sehingga akam menjadi tradisi yang dikembangkan lewat yurisprusensi.
3. Meskipun
a.u.p.b.itu belum pernah dirumuskan secara resmi dalam suatu bentuk
undang-undang, tatapi karna a.u.p.b. itu telah tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan Indonesia, maka a.u.p.b. yang terdapat dan
tersebar dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dapat disebut sebagai
sumber HAN formal yakni UU dalam arti
materiel.
PERTANYAAN :
1. Sebutkan
macam-macam a. b.b.b. yang anda ketahui?
2. Apakah
fungsi dari a.u.p.b.?
3. Sebutkan
sember hukum a.u.p.b.?
4. Seebutkan
5 a.b.b.b. yang telah memperoleh tampat yang layak dalam peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi di Nederland?
5. Sebutkan
perincian a.u.p.b di Indonesia?
6. Jelaskan
apa yang dimaksud asas kepastian hukum?
7. Jelaskan
apa yang dimaksud asas bertindak cermat?
8. Jelaskan
apa yang dimaksud asas penyelenggaraan
kepentingan umum?
9. Jelaskan
apa yang dimasud asas musyawarah/kekeluargaan?
10. Sebutkan
istilah yang digunakan oleh pemerintah belanda tentang a.u.p.b?
JAWABAN:
1) a.
a.b.b.b yang bersifat fomal
b. a.b.b.b. yang bersifat materiel
2).
fungsi a.u.p.b.
·
bagi ADN bermamfaat bagi pedoman dalam
melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang bersifat samar atau tidak jelas.
·
Bagi masyarakat, sebagai pencari
keadilan. A.u.p.b.dapat digunaka sebagai dasar dasar gugatan sebagaimana
disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986.
3).sumber
hukum a.u.p.b
a. sumber hukum materil. Ialah
factor-faktor yang mempengaruhi isi dari aturan itu.
b. sumber hukum formal. Yaitu UU.
Peraktek AND, yurisprudensi,dan Doktrin.
4). a. asas
bertindak cermat
b. asas motivasi
c. asas kepastian hukum
d. asas kesamaan dalam mengambil keputusan
e. asas
keadilan dan kewajaran.
5).
perincian a.u.p.b di Indinesia.
1. asas
bertindak cermat
2. asas
kepastian hukum
3. asas
motivasi
4. asas
kesamaan
5. asas
larangan menyalahgunakan wewenang
6. asas
meniadakan akibat suatu putusan yang batal
7. asas
keserasian dan atau keseimbangan
8. asas
penyelenggaraan kepentingan umum
9. asas
permainan yang layak atau perlakuan yang jujur
10. asas
musyawarah dan kekeluargaan.
6). Asas kepastian hukum yaitu asas yang
menghendaki adanya stabilitas hukum bagi pruduk-produk BTUN yang akhirnya dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadapa BTUN.
7). Asas bertindak cermaat ialah asas yang
menghendaki agar AND bertindak secara berhati-hati, bahkan mengharuskan untuk
bertindak cermat seingga tidak menimbulakan kerugian bagi masyaarakat.
8). Asas penyelengaraan kepentingan umum:
asas ini menghendaki agar dalam penyelenggaraan tugasnya BTUN selalu
mengutamajan kepentingan umum.
9). Asas
musyawarah ialah asas yang menghendaki agar hubungan pemerintah dengan warga
Negara dalam hal timbul sengketa sebagai akibat suatu putusan BTUN yang
dianggap melanggar dan merugikan hak-hak warga Negara.
10. Dalam
istilah pemerintah Nederland disebut “Algemene Benselen van beboorlijk
Bestuur”(a.b.b.b). kedmudian jika diterjemahkan dalam bahasa indonsia
disebut asas-asas umum pemerinthan yang baik atau (a.u.p.b.).
Daftar
pustaka
Sudargo Guatama, pengertian
Negara hukum, alumni, Bandung. 1973.
Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmi Politik, Gramedia,Jakarta,1988
Philippus, M.Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,Bina Ilmu, Surabaya, 1978.
Muchsan, pengantar
hukum administrasi begara Indonesia,Liberty,Yogyakarta.1982.
Ismail saleh,jawaban pemerintah terhadap pandangan
fraksi-fraksi di DPR atas RUN tentang PTUN, disamapaikan dalam sidang DPR, 20
Mei 1986
SF.Marbun dan Mohd. Mahfud,
pokok-poko hukum administrasi Negara , Liberty, Yogyakarta, 1987.
Mohd.Mahfud, Hukum Kepegawaian
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988,hlm.122, dan suara djatmika dan
Marsono, hukum kepegawaian Indonesia,djambatan,
Jakarta, 1985.
K. Wantjik Saleh, kitab
Himpunan ketetapan-ketetapan MPRS/MPR,
Ghalia Indonesia, 1981.
[1] Sudargo Guatama, pengertian Negara hukum, alumni, Bandung, 1973, hlm.12-17 dan liahat pula Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmi Politik, Gramedia,Jakarta,1988,
hlm.56-159.
[2] Philippus, M.Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia,Bina Ilmu, Surabaya, 1978,
hlm.77
[3]
Muchsan, pengantar hukum administrasi
begara Indonesia,Liberty,Yogyakarta.1982,hlm. 71
[4]
Ismail saleh,jawaban pemerintah terhadap
pandangan fraksi-fraksi di DPR atas RUN tentang PTUN, disamapaikan dalam
sidang DPR, 20 Mei 1986.
[5]
Muchsan, op.cit, hlm. 74-89
[6]
SF.Marbun dan Mohd. Mahfud, pokok-poko
hukum administrasi Negara , Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 57-67
[7]
Ismail Saleh, op.cit.
[8]
Sjahran Basah, idem, memberikan
contoh putusan MA. No. 1631.K/Sip/1974 tanggal 5 nov. 1975 dalam perkara
saritan harahap (p) lawan yayasan perumahan Pulo Mas dari pemerintah
Ri.c/q.Gub. DKI Jakarta.
[9]
Utrech, pengantar hukum tata usaha Negara
Indonesia, N.V.,Balai Buku Indonesia, Jakarta,1957,hlm.45.
[10]
SF,Marbun dan Mohd. Mahfud, op.cit, hlm.21-40.
[11]
SF.Marbun, op.cit, hlm.
[12]
Mohd.Mahfud, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988,hlm.122,
dan suara djatmika dan Marsono, hukum kepegawaian Indonesia,djambatan, Jakarta, 1985,hlm. 120.
[13]
K. Wantjik Saleh, kitab Himpunan ketetapan-ketetapan MPRS/MPR, Ghalia Indonesia, 1981, hlm.355
Tidak ada komentar:
Posting Komentar